Dunia Pendidikan, Antara Harapan dan Kenyataan
OPINI - Manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, dengan tujuan utama untuk beribadah dan menghambakan diri kepada-Nya. Ini merupakan bentuk eksistensi dan pengakuan tulus bahwa kita adalah makhluk ciptaan Allah, baik sebagai individu, makhluk sosial, maupun bagian dari alam semesta.
Untuk mencapai hakikat kemanusiaan yang utuh, manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya membutuhkan pendidikan guna mengembangkan potensi diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Secara prinsip, pendidikan bertujuan mengubah seseorang dari tidak baik menjadi baik, dari tidak tahu menjadi tahu, serta mengembangkan potensi agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara. Pendidikan juga berperan penting dalam membentuk karakter serta menanamkan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya mengembangkan aspek pengetahuan, tetapi juga harus mencakup sikap dan keterampilan. Seseorang belum dapat dikatakan berpendidikan jika belum berperilaku baik dan belum berbudaya baik.
Mengingat pentingnya pendidikan dalam pembentukan kepribadian, maka pendidikan tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak sesuai peran masing-masing. Keluarga, sekolah, dan masyarakat adalah tiga pilar utama pendidikan yang harus saling menguatkan. Keluarga merupakan pendidik pertama dan utama, sekolah memberikan pendidikan formal, sementara masyarakat menyediakan ruang pembelajaran nonformal yang melengkapi keduanya.
Di Kabupaten Pidie Jaya, sebenarnya telah dilakukan upaya nyata untuk mewujudkan pendidikan yang bermartabat, khususnya dalam penguatan pendidikan karakter. Pada tahun 2018, pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Islami. Peraturan ini mencakup berbagai aspek mulai dari ketentuan umum, tujuan, hak dan kewajiban peserta didik dan orang tua, hingga teknis pelaksanaan seperti kurikulum, proses pembelajaran, tenaga pendidik, peran masyarakat, indikator keberhasilan, dan tata tertib.
Salah satu implementasi dari Perbup ini adalah penugasan Tgk-Tgk Dayah untuk mengajar pendidikan berbasis Islami di sekolah-sekolah sesuai kurikulum yang telah disusun oleh tim pengembang.
Perlu diketahui, lahirnya Perbup ini bukan hasil kerja instan, melainkan melalui kajian akademik yang panjang, melibatkan banyak pihak. Bahkan, pada saat itu, Pidie Jaya menjadi satu-satunya kabupaten/kota di Aceh dan keempat secara nasional yang memiliki regulasi tentang Pendidikan Berbasis Islami di satuan pendidikan.
Namun sangat disayangkan, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Implementasi Perbup ini masih berkutat pada aspek administratif dan birokratif, belum menyentuh aspek teknis secara menyeluruh. Berbagai pihak belum memainkan perannya secara optimal.
Lebih lanjut, program ini seperti kehilangan arah dan tujuan. Mirisnya, indikator keberhasilan justru dikerucutkan hanya pada kegiatan seperti baca Yasin setiap Jumat atau shalat berjamaah di sekolah. Pemahaman ini sangat prematur dan melenceng dari tujuan awal peraturan tersebut. Di sisi lain, Dinas Pendidikan sebagai penanggung jawab program belum memiliki sistematika pelaksanaan yang jelas—kecuali soal penganggaran. Tidak ada program pembekalan bagi Tgk-Tgk Dayah yang ditugaskan, tidak ada pendampingan, evaluasi, maupun tindak lanjut program secara berkelanjutan.
Demikian pula di satuan pendidikan. Pelaksanaan program pendidikan berbasis Islami cenderung seremonial, sekadar memenuhi kewajiban administratif. Belum ada satu pun sekolah di Pidie Jaya yang benar-benar mampu menampilkan manifestasi dari Perbup tersebut.
Peran pemerintahan gampong pun masih sangat minim. Dana desa lebih diprioritaskan untuk pembangunan fisik dibanding pembangunan mental masyarakat, padahal pembangunan karakter, pemikiran kritis, kreativitas, dan kemampuan adaptasi sangat penting dalam membentuk generasi unggul.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah peran keluarga atau orang tua. Banyak orang tua masih menganggap bahwa pendidikan adalah tanggung jawab penuh sekolah atau pemerintah. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Justru, orang tualah yang paling bertanggung jawab atas pendidikan dan pembentukan karakter anak. Dalam Islam, orang tua adalah pihak yang bisa menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi, bukan masyarakat, bukan guru, apalagi pemerintah.
Akibatnya, ketika ada persoalan dalam dunia pendidikan, guru menjadi pihak yang paling sering disalahkan, dihujat, bahkan dijadikan kambing hitam.
Belakangan ini, muncul desakan dari berbagai pihak agar Bupati mencopot kepala sekolah tingkat SMP karena kasus perundungan yang viral. Pernyataan tersebut sah sebagai bentuk aspirasi, namun harus dilihat secara lebih objektif. Satuan pendidikan hanyalah satu instrumen dalam sistem pendidikan nasional yang memiliki fungsi membentuk manusia seutuhnya—secara intelektual, sosial, emosional, dan spiritual. Tanpa dukungan dari keluarga dan masyarakat, cita-cita pendidikan tak akan pernah tercapai.
Mengelola pendidikan bukanlah hal yang mudah. Pendidikan bukan sekadar membentuk kepribadian anak bangsa, tetapi juga menentukan arah masa depan bangsa. Mengelola pendidikan tidak bisa disamakan dengan merawat orang sakit. Jika orang sakit meninggal, maka berakhir sudah tanggung jawabnya. Tapi jika dunia pendidikan dikelola dengan buruk, maka dampaknya akan dirasakan oleh murid, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa secara keseluruhan.
Di sisi lain, proses pendidikan di Aceh masih berada dalam arus utama pendidikan nasional. Padahal, sebagai daerah yang memiliki kekhususan di bidang pendidikan, Aceh seharusnya menyelenggarakan pendidikan berdasarkan nilai-nilai Islami dan budaya lokal yang sesuai dengan karakter masyarakat Aceh.
Ke depan, kita memiliki harapan besar agar semua pemangku kepentingan sadar akan tanggung jawab masing-masing. Tidak saling menyalahkan, tidak mempolitisasi dunia pendidikan, apalagi menyeretnya ke dalam arena politik. Mari kita ciptakan lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan menghargai keberagaman, agar setiap siswa merasa nyaman dan dihargai.
Karena jika tidak, jangan salahkan pepatah Aceh:
"Mate ken lakôe, rugôe ken atra."
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Penulis: Marzuki
Pemerhati Sosial dan Pendidikan
Domisili di Pidie Jaya