Hana Meutumei Le Peutimang Gop, Meu Droe Teuh Karap Singet
Oleh: Bang Ajie, Lelaki Tampan Paruh Baya, Kelahiran Pidie Jaya
OPINI - Warung kopi sore ini ramai seperti biasa. Topiknya tak jauh-jauh: mulai dari gosip seputar pilkada, rencana nikah ulang seleb TikTok, sampai keluhan harga cabai yang naik turun kayak emosi mantan.
Saya duduk santai, menyeruput kopi panas dari gelas karton, dan di situlah saya melihat tulisan yang langsung menempel di kepala:
“HANA MEUTUME LE PEUTIMANG GOP, MEU DROE TEUH KARAP SINGET.”
(Tak ada waktu lagi melayani kepentingan orang lain, diri sendiri saja hampir gila).
Kalimat itu bagi saya bukan sekadar kata-kata jenaka ala warung kopi. Itu semacam jeritan dalam diam yang dirasakan oleh banyak orang hari ini.
Ekspektasi Sosial, Beban Tak Terucap
Kita hidup dalam budaya di mana "menolong orang lain" dianggap mulia, tapi seringkali kebablasan. Kita diminta menjadi pemadam kebakaran, penyelamat ekonomi keluarga besar, tempat curhat semua orang, bahkan juru damai dalam konflik rumah tangga orang lain.
Tapi siapa yang menyelamatkan kita?
Saya seorang lelaki paruh baya, masih tampan walau uban mulai menepi di pelipis merasa bahwa hari ini terlalu banyak orang yang pura-pura kuat. Mereka tersenyum sambil menahan beban, karena takut dianggap egois jika berkata "aku tak sanggup."
Padahal...
Menolak Itu Perlu. Menyelamatkan Diri Itu Wajib.
Kita tidak dilahirkan untuk memuaskan semua ekspektasi. Apalagi jika kita sendiri sedang dalam pusaran masalah. Dalam bahasa warung: “droe teuh karap singet” kepala sendiri nyaris meledak.
Ada saatnya kita berkata cukup.
Ada saatnya kita fokus merawat jiwa sendiri.
Ada saatnya kita menyeduh kopi, duduk diam, dan tidak merasa bersalah karena tidak menjawab semua pesan WhatsApp.
Karena... kewarasan lebih penting daripada kesan peduli.
Jangan Jadi Lilin yang Membakar Diri Sendiri
Menolong orang itu baik. Tapi jangan sampai menjadi lilin yang terang tapi meleleh dan habis sendiri.
Saya percaya, membatasi diri bukan bentuk keegoisan, tapi bentuk pertahanan hidup. Sebab kalau kita jatuh, orang yang biasa bergantung pada kita bisa hilang tanpa jejak.
Realitasnya dunia akan terus berputar, dengan atau tanpa kita. Maka, jangan terlalu memaksakan diri untuk menjadi pusat orbit semua orang.
Tulisan di gelas kopi tadi sederhana, tapi sangat dalam.
Ia mengingatkan saya dan mungkin juga kamu, bahwa menjaga kewarasan bukan hal egois. Itu sebuah tanggung jawab.
Jadi kalau hari ini kamu merasa lelah…
Tarik napas. Tersenyum. Katakan dalam hati:
“Maaf, aku tak bisa bantu dulu. Diri ini sedang nyaris gila.”
Dan percayalah, itu bukan kelemahan. Itu tanda bahwa kamu masih manusia.
Salam hangat dari warung kopi,
Bang Ajie
(Lelaki tampan paruh baya, ahli dalam seni pura-pura baik-baik saja.)