18 Juni 2025
Opini

Guru dan Sekolah-Sekolahan Kita Hari Ini

Foto : Taufik, S.Pd, Kepala SMPN 3 Ulim, Pidie Jaya. | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Hari menunjukkan pukul 7.30 WIB. “Tok tok tok ....” Daun pintu rumah kayu itu ada yang mengetuk dari luar. Rumah tua hanya satu kamar itu lantainya semen kasar dan beratapkan daun rumbia.

“Tok tok tok ... Mak ....” Untuk kedua kalinya terdengar ketukan di pintu. Dalam rumah, seorang wanita berumur 40-an tahun berlari dari dapur sambil bertanya. Suaranya terdengar nyaring, “Soe?” 

Terdengar dari luar “Neubuka aju hai, Mak. Kamunoe ka tapreh!” Wanita itu pun pahan siapa yang ada di depan pintu rumah.

Pintu dibuka, si anak langsung menerobos masuk. “Pakon teulat that kawoe?” Anaknya pun menjawab, “Waled teulat that geupeulheuh beuet.” 

Setelah itu si anak langsung ambil anduk, sambil berujar, “Kujak manoe le böh, kateulat nyoe!” 

“Jeut. Singoh-ngoh watee woe u rumôh, beumeuri bacut tanyoe kajeut baca kitab kuneng.” Mak menatap anaknya dari arah belakang sambil geleng-geleng kepala.

Nama anak itu Muhammad. Seorang anak laki-laki berumur 13-an tahun. Sehari-hari, selain sekolah, mengaji dan membantu orang tua. Setiap sore Muhammad mengaji di dayah di dekat kampungnya. Waktunya dari sebelum magrib, lalu menginap di dayah, dan seperti biasa pulang pagi.

Selesai mandi, ia langsung menuju dapur. Satu menit kemudian, ia keluar dari dapur dengan sepiring nasi yang dibalur minyak makan plus garam dan telur dadar berbentuk piring terbang.

Ia duduk di samping sang ibu yang sedang menyuapi adik kecilnya. Duduk di lantai beralaskan tikar pandan tua.

Wanita itu memandangi anaknya yang lagi lahap makan. Sambil tersenyum, dalam hatinya terbersit, “Sudah besar rupanya anak mudaku.” Kemudian ia bertanya, “Watee ka eh bak dayah, si Robert na ipeukaru kah mantong neuk?” 

Anaknya pun menjawab, “Han iteujeut poh le Mak. Ka yö jih.”

Setelah itu dia pun menyelesaikan makannya. Sesaat kemudian dia sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Ibunya mencandai, “Pajan sit kabantu ayah jak u glee siat? 

Sambil melirik sang ibu, saraya menerima uang jajan, ia berujar, “Singöh ngön lusa mantöng kupree dua uroe, sabab na matematik. Meunyoe uroe nyoe pelajaran olahraga.” Dan Muhammad pun berlalu pergi dengan sepeda bututnya.

*Magnet Pada Mata Pelajaran Olahraga*

Kisah Muhammad, tentu saja bukan nama sebenarnya, adalah potret dari pendidikan kita di akar rumput. Pelajaran Olahraga idola anak sekolah. Hampir tidak ada anak yang tidak suka. Mengapa demikian?

Ada yang berargumen, pelajaran olahraga banyak bermainnya. Tentu semua sepakat anak usia sekolah masih sangat suka bermain. Bermain dapat membantu anak belajar dan memahami hal-hal baru. Meningkatkan kepercayaan diri dan membangun hubungan sosial yang positif dengan anak-anak lain. Harus diakui, bermain bisa mengurangi rasa jenuh dan stres. Sekali lagi, sebagai orang tua yang pernah menjadi anak-anak, kita pasti harus mengiyakan.

Ada juga yang berlogika, alasan anak suka pelajaran olahraga karena sering belajar di luar kelas. Bahkan ada anggapan belajar di dalam kelas itu membosankan dan kaku. Apalagi tanpa dibarengi dengan metode mengajar ceramah. Metode yang cenderung akan menghasilkan pembelajaran satu arah. Singkat kata, pelajaran olahraga hadir sebagai penyemangat anak dalam belajar.

 Pertanyaannya, ada tidak faktor lain sehingga anak lebih fokus dan suka pada pelajaran olahraga? Saat di sekolah mareka belajar sepak bola, atletik, berenang, dan sebagainya. Namun, ketika mereka berada di luar sekolah, kembali ke lingkungannya, sering mereka menjumpai jenis olahraga yang telah dipelajari. Aturan dan tekniknya dengan mudah bisa mereka terapkan. Apa yang sang anak pelajari di sekolah terasa lebih bermakna. Bukankah ini yang disebut tujuan belajar yang sesungguhnya?

*Saatnya Berubah*

Jika kita bercermin pada mata pelajaran olahraga, hampir semua materi bersifat Konkret (nyata). Sehingga mudah untuk dijadikan permainan, dipraktikkan, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, bagaimana dengan pelajaran lain?

Di sinilah posisi guru hendaknya menjadi perhatian. Ibarat seorang koki, tiada guna bahan dapur lengkap kalau seorang koki tidak punya kemampuan jempolan. Rambeu, kakap, bandeng, tuna yang bisa menjadi hidangan lezat, di tangan koki abal-abal, bahan masakan sedap jadinya runyam alias han ek tamamam.

Meng-olahraga-kan mata pelajaran lain itu tidak mungkin terjadi. Apabila perencanaannya tidak jelas atau biasa-biasa saja. Apabila guru masuk kelas hanya sekadar menghabiskan jam mengajar. Apabila mengajar hanya sebatas hadir di kelas, tanpa rasa pikir dan perasaan untuk pembangunan rohani si anak di kemudian hari. Saya pikir inilah PR bagi guru mata pelajaran selain pelajaran olahraga atau PJOK.

Tentu anak-anak tidak serta-merta jadi suka dengan sang guru dan mata pelajarannya jika seorang guru ingin berubah. Apalagi jika seorang guru dikenal hanya hobi memberikan catatan, jelaskan, dan menilai. 

Semua berawal dari perencanaan dan refleksi. Pada perencanaan dan refleksi itulah akan muncul, apa yang harus dipelajari kembali, dan mana saja yang harus dikembangkan. Di sisi lain, memang juga ada kasus, perencanaannya sangat luar biasa, tapi di pelaksanaan malah sangat melenceng. Ini juga harus dievaluasi.

Mantan presiden kita, Yusuf Kalla pernah berkata, “Pekerjaan baik tanpa perencanaan akan sulit. Perencanaan yang baik tanpa pelaksanaan hanya akan jadi arsip.” Sudah saatnya arah pendidikan, kita ubah. Sebenarnya kurikulum itu sesuai kebutuhan anak, sesuai tuntutan zaman. Anak kita butuh keahlian, kompetensi, dan karakter yang baik. Hari ini kita belajar bahwa sekolah bukan hanya untuk mengisi formasi tertentu yang ada dalam birokrasi negara. Hari ini kita belajar bahwa sekolah untuk memberikan mereka peluang bahagia dunia dan akhirat.

Intinya, semua menginginkan anak-anak kita memperoleh pendidikan yang terbaik. Terlebih kita yang berprofesi sebagai guru. Berilah pendidikan terbaik untuk anak bangsa. Memang berat beban yang harus dipikul seorang guru. Tapi itulah tugas seorang guru dan saya bangga menjadi seorang guru. 

Guru tidak boleh hanya “mendongeng” tanpa jelas arah tujuan pembelajaran. Generasi sekarang kritis, mereka butuh materi yang logis. Di zaman ini, guru harus mampu menciptakan suatu yang abstrak menjadi konkret.

Ajak jemarimu menari dengan lentik. Ketika engkau buka kembali buku, buka hp, atau gunakan labtopmu untuk belajar. Anggap saja engkau sedang bermedia sosial.

Sungguh ironis ketika seorang anak menghabiskan waktunya 5-6 jam setiap hari untuk belajar di sekolah. Tapi saat kembali dunia nyata, kembali ke lingkungannya, mengukur menggunakan rol saja tidak bisa. Membagikan sekotak permen untuk kawan-kawannya masih menggunakan cara manusia purba.

Lahirlah bahasa pesimis dari luar sana. Apa gunanya belajar? Apa gunanya sekolah? Jika yang mampu anak lakukan saat di luar sekolah hanya olahraga dan shalat doang. Itu pun shalat-shalatan. Seperti maaf-maafan hari raya yang hipokrit, palsu. Kita hanya salaman, maaf-maafan, dengan orang yang tidak punya masalah dengan kita. Giliran yang punya masalah, dendam, atau yang lainnya, kita malah menghindar.
 
Begitulah. Karena sekolah sesungguhnya menjadi jembatan untuk Muhammad, Hasan, Ali, Basyah dan lainnya. Sekolah menjadi metode, menjadi alat untuk menyelesaikan masalah di kehidupan nyata.

Oleh : Taufik, S.Pd.: Kepala SMPN 3 Ulim, Pidie Jaya.