12 Juli 2025
Opini

Antara Luka dan Logika: Menilai dengan Jernih, Bergaul dengan Bijak

OPINI - Dalam kehidupan sehari-hari, relasi antar manusia tak bisa dihindari. Baik dalam keluarga, pertemanan, pekerjaan, maupun urusan bisnis, setiap interaksi memberi ruang lahirnya penilaian terhadap orang lain. Namun, perlu kita tanyakan pada diri sendiri: Apakah kita menilai dengan logika yang jernih, atau dari luka yang belum sembuh?

Menilai dari Luka: Bias yang Membutakan

Sering kali seseorang yang pernah mengalami konflik, kekecewaan, atau pengkhianatan akan menyimpan luka batin. Luka ini, jika tidak disembuhkan, akan menjadi filter kotor yang menodai penilaian terhadap siapa pun yang terkait dengan masa lalu itu. Segala tindakan dan kata-kata orang lain akan ditafsirkan dalam kecurigaan, bahkan jika itu berniat baik.

Luka menjadikan kita pribadi yang subjektif, mudah tersulut emosi, dan sulit menerima kenyataan. Penilaian semacam ini tak adil, dan bisa berujung pada ketidakbijakan dalam mengambil keputusan atau memperlakukan orang lain.

Sebaliknya, logika mengajarkan objektivitas. Ia menilai berdasarkan fakta, bukan rasa. Ia memisahkan antara pribadi dan masalah, antara kesalahan dan niat, antara satu peristiwa dengan karakter menyeluruh seseorang.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
"Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakannya."
Ungkapan ini mengajarkan kita pentingnya berpikir jernih, lepas dari luka dan prasangka.

Membatasi Diri dari Lingkungan dan Sosok Toxic

Namun menjernihkan penilaian bukan berarti membiarkan diri terpapar pengaruh buruk. Dalam dunia pergaulan, kita harus pandai menakar dan menempatkan orang sesuai porsinya. Tidak semua orang bisa dijadikan teman dekat. Bahkan, tidak semua orang layak diberi akses ke kehidupan pribadi kita.

Dalam bahasa sederhana, pergaulan bisa kita klasifikasikan:

Ada orang yang sama sekali tidak boleh dijadikan teman karena sifatnya merusak, suka menebar fitnah, atau membuat kita menjauh dari nilai-nilai kebaikan.

Ada teman sekadar ngopi bareng, cukup untuk obrolan ringan dan basa-basi sosial.

Ada teman yang bisa dibawa ke luar pagar rumah, cocok untuk kerja sama dalam kegiatan publik atau urusan luar.

Ada yang boleh masuk ke pekarangan rumah, sebagai sahabat yang saling menguatkan dalam batas yang sehat.

Ada yang layak masuk ke ruang tamu, seseorang yang kita hormati dan percaya untuk berdiskusi hal-hal serius.

Namun sangat sedikit yang bisa masuk ke kamar tidur yakni simbolik dari orang-orang paling dekat, yang benar-benar kita percayai untuk tahu rahasia, luka, dan kerapuhan kita.


Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Seseorang akan mengikuti agama (gaya hidup) temannya. Maka hendaklah kalian melihat siapa yang kalian jadikan teman."
(HR. Abu Dawud)

Ini adalah seruan spiritual agar kita berhati-hati dalam memilih lingkungan dan orang yang kita izinkan tumbuh bersama kita.

Bukan Benci, Tapi Berjarak demi Sehat

Menjaga jarak bukanlah bentuk kebencian. Dalam banyak kasus, menjaga jarak adalah bentuk perlindungan, bentuk kasih sayang kepada diri sendiri, bahkan bentuk kematangan dalam membina relasi. Karena dengan memberi batas, kita mencegah luka baru, dan memberi ruang bagi masing-masing untuk bertumbuh tanpa racun.

Imam Syafi’i pernah berkata:
"Jika engkau tidak menemukan sahabat yang bertakwa, maka jangan bersahabat dengan orang yang gemar bermaksiat."
Ini bukan tentang tinggi hati, melainkan tentang menjaga kemurnian hati.

Bersihkan Luka, Gunakan Logika, Jaga Pergaulan

Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan bersama orang yang tidak membawa manfaat dan terlalu singkat untuk terus menilai orang berdasarkan luka masa lalu. Maka bersihkan luka agar logika bisa berbicara. Jaga logika agar pergaulan tetap sehat.

Jangan semua orang dimasukkan ke dalam ruang hati yang sama. Ada yang cukup di pagar, ada yang di pekarangan, dan hanya sedikit yang layak masuk ke ruang terdalam.
Sebab kedewasaan adalah ketika kita mampu berkata:

"Aku memaafkanmu, tapi bukan berarti aku harus mengizinkanmu tinggal di hidupku lagi."

Nilailah dengan logika, bukan karena luka. Dan bergaullah dengan cinta, tapi jangan buta.

Penulis: Fakhrurrazi RA
Pengamat Dunia Pergaulan dan Pemerhati Realitas Sosial