01 Juni 2025
Opini

Sekolah Tak Lagi Ramah Bagi yang Tak Beruang

Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI | Di tengah derasnya retorika bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, kenyataan di lapangan justru menyuguhkan ironi yang menyakitkan. Masih terjadi kisah-kisah memilukan, siswa dilarang mengikuti ujian semester hanya karena orang tuanya belum mampu melunasi Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Bukan karena enggan membayar, tetapi karena benar-benar belum memiliki uang.

Seolah belum cukup menyayat, praktik lain kembali mengoyak akal sehat, ijazah siswa ditahan karena tak mampu membayar biaya wisuda. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial dan hak dasar anak untuk belajar tanpa diskriminasi. Di mana letak nurani lembaga pendidikan saat anak-anak dipaksa menanggung beban ekonomi keluarga hanya untuk sekadar mendapat hak atas ilmu?

Yang kita hadapi bukan soal kurangnya anggaran, bukan soal minimnya fasilitas. Ini adalah soal keringnya empati dalam institusi yang seharusnya menjadi rumah moral, tempat tumbuhnya nilai kemanusiaan. Pendidikan perlahan bergeser dari hak menjadi barang dagangan. Di tengah spanduk yang menggaungkan nilai, terselip ketegaan yang mencederai masa depan.

Pertanyaannya sederhana, bolehkah siswa dilarang mengikuti ujian atau ditahan ijazahnya hanya karena belum membayar? Jawabannya tegas, tidak boleh. Praktik ini tidak hanya melukai nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga secara eksplisit bertentangan dengan hukum. Negara melalui Kemendikbud dan Kemenag telah mengatur larangan diskriminasi ekonomi dalam pendidikan.

Merujuk pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, Pasal 10 Ayat (1) huruf c melarang pungutan yang menyebabkan siswa tidak dapat mengikuti pembelajaran. Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 menegaskan bahwa pembayaran tidak boleh dijadikan syarat mengikuti ujian. Bahkan, Petunjuk Teknis BOS Madrasah 2024 dari Kemenag menyebut dengan tegas bahwa madrasah penerima dana BOS dilarang melarang siswa ikut pembelajaran atau ujian hanya karena tunggakan.

Penting untuk dipahami, sekolah swasta pun tak kebal terhadap regulasi ini jika mereka menerima dana BOS. Dana tersebut adalah uang rakyat, dan karenanya lembaga penerimanya punya tanggung jawab moral dan legal untuk menjalankan prinsip inklusivitas dan non diskriminasi.

Namun di lapangan, justru institusi pendidikan sering kali menjadi pelaku utama ketidakadilan ini. Di ruang-ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kasih dan akhlak, anak-anak malah disambut dengan perasaan takut, malu, bahkan terasing, hanya karena orang tua mereka sedang ditimpa musibah atau kehilangan pekerjaan. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan malah menjadi tembok yang semakin menindih.

Yang lebih menyakitkan adalah ketika pihak sekolah berlindung di balik dalih “sudah disepakati sejak awal.” Pernyataan ini adalah bentuk kekeliruan fatal. Kesepakatan administratif tidak boleh menyingkirkan hak konstitusional anak untuk mendapatkan pendidikan. Hukum tidak tunduk pada surat perjanjian yang menyampingkan rasa keadilan.

Di sinilah seharusnya peran dinas pendidikan dan kantor Kemenag diuji. Mereka bukan sekadar pengamat, apalagi pembenar. Ketika lembaga pengawas diam, maka pelanggaran akan berubah menjadi budaya. Ketika regulasi tak ditegakkan, maka kekerasan struktural terhadap anak akan terus berlangsung tanpa rasa bersalah.

Jika praktik ini terus dibiarkan, maka kita sedang menyemai generasi yang kehilangan kepercayaan pada pendidikan. Mereka akan merasa bahwa sekolah bukan tempat yang aman, tetapi tempat di mana luka batin ditorehkan karena status ekonomi. Ketimpangan sosial tak akan hilang, malah akan semakin dalam, karena alat pemutus rantainya ikut mencederai.

Kita harus berani menyebut ini bukan sekadar kesalahan prosedural. Ini adalah kegagalan moral, kegagalan sistemik yang memperdagangkan hak anak demi pemasukan. Ketika sekolah gagal mengajarkan empati, maka ia bukan lagi institusi pendidikan, tapi hanya mesin birokrasi yang dingin dan impersonal.

Maka, pertanyaan itu patut kita ulang dengan lebih lantang, untuk siapa sebenarnya pendidikan ini dibangun? Jika jawabannya bukan untuk semua anak, apa pun latar belakang ekonominya maka kita telah kehilangan arah dalam membangun masa depan bangsa. (TS)