27 Juli 2025
Opini

Pelajaran Penting dari "Legenda Masihe"

Foto : Edi Miswar Mustafa: Pegiat Komunitas Muda Japakeh  | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OLEH: EDI MISWAR MUSTAFA - Pernahkah Anda mendengar legenda “Masihe” di Pidie Jaya? Legenda “Masihe” lahir di tengah-tengah masyarakat Pidie Jaya, khususnya yang tinggal di Uleegle sekitarnnya, Kecamatan Bandar Dua. Kisahnya persis sama seperti Amat Ramayang di Krueng Raya, Aceh Besar atau Malin Kundang di Sumatera Barat.  

Jeh, kok bisa sama? Cerita rakyat, dalam hal ini dongeng, yang dituturkan dari mulut ke mulut memang wajar-wajar saja kalau ada kesamaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan bukan hanya legenda “Masihe” yang sama dengan dongeng daerah lain.

Kisah Jaka Tarub yang dikenal masyarakat Jawa juga sama dengan Malem Diwa di Aceh. Kisah ini juga ada dalam “Hikayat 1001” yang ditulis di Baghdad, Irak, dan tidak diketahui pengarangnya alias anonim atau anonimus.

Di Kalimantan, kisah seperti “Malem Diwa” juga ada. Alkisah seorang pemuda tersesat di tengah-tengah hutan. Kemudian ia menemukan sebuah danau. Tiba-tiba dari sisi lain danau, keluarlah 7 ekor harimau. Ketujuh harimau itu tidak mengetahui kehadiran si pemuda. Apa yang terjadi kemudian? Ketujuh harimau itu membuka kulitnya. Tampaklah oleh si pemuda tujuh harimau itu ternyata 7 gadis cantik yang hendak mandi di danau. 

Lalu, setelah mereka mandi, 6 gadis cantik itu kembali mengenakan kulitnya. Gadis yang paling muda bingung. Dia kehilangan kulitnya dan akhirnya tidak bisa kembali ke dalam rimba. Kulit harimau si bungsu telah diambil dan disembunyikan si pemuda.

Penggalan di atas hanya contoh. Bahwa kisah yang sama, juga hidup di tengah masyarakat yang berbeda bahasa dan budayanya. “Batu Belah” dari Riau, tapi di Aceh Tengah juga dikenal “Kisah Atu Belah”. Sifat migratoris atau berpindah adalah ciri dari cerita rakyat atau seringkali kita sebut sebagai dongeng. Dongeng sendiri memiliki varian seperti sage, mite, dan legenda. 

Membukukan Dongeng-dongeng, Pentingkah untuk Kita?
Tanggal 15 — 16 Mei 2025, saya dipercaya sebagai salah seorang juri di lomba bertutur tingkat SD/MIN yang diadakan Dinas Arsip dan Perpustakaan Pidie Jaya. Beberapa peserta memilih “Masihe” sebagai bahan bertutur mereka.

Dan hasilnya, tentu bukan karena pilihan memilih dongeng dituturkan yang menjadi ukuran menang atau tidak, pemenang pertama Rasya Alfahrezi dari SDN 1 Ulim, kami pilih sebagai juara pertama. 

Sejujurnya, sejak 2017 saya menjadi juri lomba bertutur di Pidie Jaya, saya menyimpan mimpi untuk Kabupaten Pidie Jaya. Setiap kali lomba bertutur, anak-anak kita terpaksa harus memilih legenda “Masihe” karena minimnya pilihan lain. Kisah seperti Teungku Japakeh, Malem Dagang, Teungku Syik Tu dan Kuda Sembrani, bahkan Kisah Rumoh Baro (Jeumala Amal), masuk kategori sejarah murni. 

Kisah sejarah murni tidak memilih alur naik turun. Tidak ada perumitan masalah, perumitan masalah kedua, ketiga dan seterusnya sampai ke puncak kisah yaitu klimaks. Berbeda dengan prosa lama seperti sage, mite, dan legenda. Jenis kisah ini memiliki alur yang sama seperti cerita pendek atau novel ataupun film (fiksi).

Sehingga intipati dari karya sastra yaitu utile et dulce, menarik dan bermanfaat, ada dalam cerita rakyat jenis prosa lama. Dan ketika dituturkan dengan ekspresi sedih, marah, senang dan berbagai ekspresi lainnya ditambah dengan gestur yang sesuai dengan kisah yang dituturkan, legenda “Masihe” dan lainnya tentu saja akan sangat menarik.
Bayangkan, saya, juri dan beberapa guru pendamping tahu-tahu mengalami sesuatu yang lucu untuk saya ceritakan di sini.

Beruntung di meja juri disediakan tisu sehingga saya bisa langsung mengelap air mata. Rasya, yang masih duduk di kelas 5 SD, benar-benar membawa kami dalam situasi sedih, marah, benci, dan terharu. 

Sayangnya di Pidie Jaya, cerita rakyat jenis prosa fiksi lama, seakan hanya legenda “Masihe”. Tidak ada yang lain. Kalaupun ada, saya hanya menemukan perulangan kisah muasal nama “Gampong Beuracan”, “Gampong Beuriweh”, “Gampong Pangwa”, “Gampong Peurade” dan lainnya. Kisah-kisah ini pun, kalau dilihat riwayat perjalanan Iskandar Muda, dapat dirujuk ke tahun sekian. Padahal, sage, mite, legenda, tidak mengenal periwayatan. Ratusan tahun lalu itu masih dapat disebut masih belum lama. Sebagai amsal, adakah yang bisa menebak kapan Pak Toba, Samosir dan ibunya yang berasal dari ikan itu menjadi Danau Toba yang kita kenal sekarang?

Saya ingat sekitar tahun 2017, saya telpon kawan saya yang menjadi juri di tingkat provinsi. Simpulan percakapan kami, anak Pidie Jaya ataupun anak dari kabupaten lainnya yang mengambil kisah daerah lain, misalnya dari Aceh Tengah, Aceh Selatan, dari Riau, dari Maluku dan lainnya akan mengalami pengurangan nilai. Alasannya karena kisah yang dituturkan bukan dari daerah sendiri.

Nah, di tahun 2017 itulah saya sampaikan kepada Kabid Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pidie Jaya, bagaimana seharusnya Pidie Jaya menghadapi pilihan opsi cerita yang itu-itu saja.

Pertama, buat sayembara menulis cerita rakyat dari Pidie Jaya. Peserta bebas, boleh siapa saja. Tidak hanya dari Aceh, boleh juga dari provinsi lain. Tapi peserta hanya boleh menulis cerita rakyat yang ada di Pidie Jaya. 

Teknik kedua cari penulis cerita anak atau cerita rakyat. Buat perjanjian dengan si penulis tersebut. Untuk satu dongeng dari Pidie Jaya yang ditulis, dibayar berapa?

Berapa halaman atau karakter tanpa spasi per dongeng? Setelah terkumpul 10 atau 15 cerita rakyat, tahun depan diplotkan anggaran dari APBK. Kemudian dibukukan. Nah, dongeng-dongeng dari buku dongeng itu menjadi rujukan siswa-siswa tingkat SD/MIN yang mengikuti lomba bertutur yang diadakan tiap tahunnya. 

Sayangnya tanggapan Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pidie Jaya terkesan tidak memahami pentingnya dongeng itu dibukukan. Dongeng “Malin Kundang”, misalnya, fungsinya sebagai kontrol sosial. Suku Minang dikenal sebagai suku perantau. “Malin Kundang” telah melekat di bawah sadar masyarakat Minang. 

Apa yang terjadi pada masyarakat Minang atau warga Sumatera Barat? Penduduk Sumbar di Hari Raya Idul Fitri bertambah dua kali lipat. Jutaan warga Minang yang merantau ke sejumlah provinsi, bahkan yang merantau ke luar negeri, mudik hari raya.

Mereka akan merasa sebagai Malin Kundang atau anak yang durhaka kalau tak pulang kampung, padahal punya kemampuan untuk pulang saat hari raya (khususnya Hari Raya Idul Fitri).

Di China, kontrol sosial berdasarkan kisah-kisah lama/dongeng, bahkan dibuatkan dalam wujud patung para pengkhianat yang sangat dikenal dalam sejarah kekaisaran China. Patung-patung orang-orang yang dianggap pengkhianat itu dibuat di sejumlah wilayah.

Setiap orang, setiap hari ataupun hari-hari tertentu wajib memukul kepala patung-patung itu. Patung-patung itu kemudian harus diperbaiki setiap tahun saking bencinya para pemukul kepada tokoh yang dipatungkan itu. 
Efek sosial bagi masyarakat China adalah kebencian terhadap pengkhianatan.

Kebencian masyarakat China pada perilaku korup dan penyakit sosial lainnya, baik yang ada di dalam birokrasi pemerintah maupun penyakit sosial yang ada dalam masyarakat. 

Di Jepang dikenal kisah membuang orang tua ke hutan. Namun, sebenarnya, membuang orang tua ke hutan tidak pernah terjadi. Tetapi dongeng itu diciptakan untuk menghakimi orang-orang yang tidak berterima kasih kepada kebaikan orang tuanya. Sehingga masyarakat Jepang dikenal sangat menghargai orang tua mereka, guru mereka, dan orang lain. 

Masih adakah yang berpikir tidak penting membukukan dongeng atau cerita rakyat? Legenda “Masihe” dan batunya di Gampong Blang Dalam Kecamatan Bandar Dua, mungkin sudah dihilangkan dengan menimbunnya. Soal tempatnya sudah mengalami perubahan, saya pikir, ini tugas kita bersama. Tapi, Legenda “Masihe” harus terus dikisahkan untuk anak-anak kita.

Legenda “Masihe” adalah simbol anak durhaka dari Pidie Jaya yang harus dikenang agar sikap tidak terpuji tidak memuliakan orang tua tidak terjadi di tengah-tengah kita. (**)