31 Mei 2025
Opini

HP Android dan Pendidikan Kita yang Tidak Baik-baik Saja

Foto : Edi Miswar Mustafa | LIPUTAN GAMPONG NEWS

Oleh: Edi Miswar Mustafa

OPINI - Apa masalah pendidikan yang paling darurat yang harus segera dapat diatasi dewasa ini? Pernahkah Anda bertanya ihwal itu? Pernahkah Anda mendiskusikannya dengan guru-guru anak Anda? Di grup WhatsApp (WA) Guru Penggerak, screenshoot berita online di Aceh Utara, terlihat fenomena siswa usia sekolah menengah pertama dan menengah atas masih di warung kopi sampai di larut malam. 

Kemudian beberapa anggota grup menimpali bahwa fenomena yang sama juga terjadi di daerah mereka. Saya ingin juga menimpali, “Eh, sama. Pidie Jaya juga gitu.” Tapi, saya diam dan hanya membaca. Di grup WA itu juga ada Pak Marthunis, Kadisdik Aceh. Saya yakin fenomena ini juga dalam amatan beliau.

Sebelum membahas lebih lanjut fenomena anak usia sekolah di sejumlah warung kopi di Pidie Jaya, yuk sama-sama kita melihat sejenak pengertian fenomena dan nomena. Dua kata ini mungkin lebih memudahkan kita untuk memahami tiap persoalan, khususnya persoalan pendidikan di Aceh. 

KBBI mengartikan fenomena sebagai; hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Arti kedua; sesuatu yang luar biasa, keajaiban. Arti ketiga, fakta; kenyataan. Arti nomena? Tidak ada di KBBI. Tapi ketika di-googling, eh ternyata ada. Coba saja ketik ‘perbedaan fenomena dan nomena’. 

Fenomena adalah sesuatu yang dapat kita amati dan rasakan melalui indera, sedangkan nomena adalah sesuatu yang ada di luar kemampuan indera kita, sesuatu yang tidak dapat kita kenali secara langsung. Fenomena adalah tentang dunia sebagaimana yang kita alami, sedangkan nomena adalah tentang "benda dalam dirinya sendiri" yang tidak dapat kita pahami secara langsung.

Guru menulis saya di Sekolah Menulis Dokarim, Fauzan Santa, punya komparasi menarik tentang fenomena dan nomena. Padahal komparasi itu sudah jauh melampaui waktu. Saya peserta Sekolah Menulis Dokarim tahun 2006. Mungkin karena penjelasannya keren, karenanya masih tersimpan di memori saya sampai 2025. 

Coba bayangkan sebuah gunung berapi, kata rektor Sekolah Menulis Dokarim ketika itu. Saat gunung itu dalam kondisi meletus, dari jauh, apalagi dari dekat, semua dapat melihat di puncaknya ada awan putih bercampur gelap. Kemudian keluar dari puncaknya cairan orange kemerahan yang kita sebut lava. Nah, itu fenomena. 

Sementara, nomena adalah lava yang ada di dalamnya. Kondisi super panas di dalam gunung itu sendiri. Mata manusia tidak mampu melihat nomena gunung berapi. Demikian juga persoalan-persoalan pendidikan kita hari ini. Salah satunya fenomena anak usia sekolah di warung kopi sampai larut malam dengan telpon pintarnya.

Kita semua kini menyadari. Kemajuan teknologi ternyata bukan hanya memudahkan manusia. Padahal tujuan manusia berpikir dan menciptakan sejumlah alat, agar manusia dapat melakukan pelbagai hal dengan lebih mudah. Dengan telpon pintar atau biasa kita sebut dengan singkat sebagai hp, memudahkan manusia untuk berkomunikasi. 

HP Android bahkan kini mengalahkan radio, televisi, apalagi koran (berita dalam bentuk cetak). Imbasnya perusahaan koran cetak mulai banyak beralih ke digital. Iklan-iklan tidak sebanyak ketika masih cetak sehingga pemutusan kerja para pegawai menjadi solusi. Kompas, harian terbesar di Indonesia, dalam beberapa hari terakhir bahkan membahas tentang beberapa media cetak yang tidak lagi mampu membayar penulis atau sastrawan yang mengirimkan karyanya. 

Dulu Warung kopi di Aceh, koran dan televisi menjadi barang yang wajib dihadirkan pemilik warung kopi. Tapi dewasa ini, jumlah warung kopi yang menyediakan koran menyusut drastis. Televisi dan koran hanya ada di warung kopi kampung. Pelanggan warung kopi di kampung adalah orang tua-tua dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.  

Bagaimana kondisi di sekolah? Sekolah juga turut mengalami kondisi dilematis penggunaan hp. Di awal booming android dan kemudian covid, sebagian besar guru, terutama guru-guru muda dan berjiwa optimis, penggunaan hp adalah solusi terhadap pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Asumsi-asumsi mencerahkan tentang pengggunaan HP Android di sekolah bergemuruh di ruang-ruang guru. Guru yang menolak siswa menggunakan Hp di sekolah seolah ia hidup di bawah tempurung.

Tak lama kemudian, saat sejumlah warung kopi ‘merayu’ pelanggan dengan kemudahan akses internet gratis, kita baru sadar, ternyata kemajuan teknologi malah membuat kondisi sosial kita tidak baik-baik saja. 

Bagaimana dengan kondisi anak-anak di sekolah yang diizinkan membawa hp? Jujur saja, tidak seperti yang dibayangkan guru sebelumnya. Awalnya guru membayangkan, pembelajaran akan terbantu dengan hp. Sumber belajar selama semata dari buku, berganti ke sumber yang lebih variatif. Awalnya memang seperti yang diharapkan. Tapi kemudian apa yang terjadi?

Meskipun dilarang membawa hp ke sekolah, anak-anak tetap berusaha menyusupkan hp ke sekolah. Anak-anak yang tidak suka mata pelajaran tertentu dan guru tertentu, malah berdoa agar secepatnya si guru keluar dari kelasnya. Untuk apa? Agar mereka bisa segera bermain hp, terutama bermain game. Oleh karena itu, ruang kelas tanpa guru persis seperti warung kopi yang dipenuhi anak usia sekolah dengan hp-nya.

Inilah fenomena pendidikan kita. Saat ujian, anak-anak bukan menjawab soal dengan kepalanya, tapi cuma modal ‘jari tangan’. Alhasil, ujian pukul 08.00 WIB, pukul 08.30 WIB, hanya tinggal satu dua anak di ruang ujian. Dan anak itu dikenal guru-gurunya sebagai anak rajin dan beretika di sekolah.

Solusi Mengatasi Sengkarut Pendidikan Kita Hari Ini

Bagaimana mengatasi fenomena pendidikan yang menyedihkan ini? Ki Hajar Dewantara, yang hidup di era penjajahan Belanda dan mendirikan Taman Siswa sebelum Indonesia ada, mengenalkan kita konsep trimatra. Istilah ini juga disebut tripusat pendidikan. 

Tri berarti tiga. Matra berarti ranah atau tingkat. Ranah pertama adalah keluarga. Ranah kedua adalah sekolah. Dan ranah yang ketiga adalah masyarakat. Tentu saja kita mengenal masyarakat terbagi menjadi masyarakat kampung, masyarakat kecamatan, masyarkat kabupaten, provinsi, bahkan negara. 

Tiap ranah terdiri dari dua unsur. Orang tua dan anak, pada ranah keluarga. Guru dan siswa, pada ranah sekolah/madrasah/dayah. Pemerintah dan rakyat, pada ranah masyarakat. 

Adagium ‘kalau guru kencing berdiri, guru kencing sambil berlari’, disalahpahami banyak orang di negara ini. Sesungguhnya posisi guru, posisi orang tua, dan posisi pemerintah ada di lajur yang sama. Artinya, kata ‘guru’ pada adagium di atas bisa diganti ‘orang tua’ dan ‘pemerintah’. Dan pengertian ‘berdiri’ ke ‘berlari’ adalah simbol dari sikap jahil dua kali lipat. 

Ahmad Dhani, pentolan Dewa19 pernah mengatakan; yang tua korup, yang muda mabuk. Korup dan mabuk itu adalah sikap jahil. Dan fenomena mabuk serta korup dilakukan oleh orang dewasa. Terus apa kaitannya dengan pendidikan kita harus ini? Apa kaitannya dengan penyalahgunaan hp pada anak usia sekolah?

Jawabannya, orang tua harus menjadi contoh. Agama Islam bahkan punya konsep pendidikan begini; yang memajusikan, menasranikan, meyahudikan seorang anak adalah orang tuanya. Terus, guru bagaimana? Guru apalagi? Di depan menjadi teladan, di tengah menjadi penyemangat, dan di belakang menjadi pendorong. 

Terus posisi pemerintah bagaimana? Peran apa yang harus dilakukan pemerintah agar mengatasi persoalan nonproduktif karena hp di dunia pendidikan hari ini? Rancang sejumlah kegiatan di bidang olahraga, seni, dan sains. Misalnya lomba sepakbola, bola voli, dan lainnya per enam bulan sekali dipertandingkan antarsekolah, antarkampung, antarkecamatan. Juga bidang seni, literasi dan sains. Sampai kemudian tercipta ekosistem sosial. Sampai terpatri di benak anak-anak kita, sampai terbayang di pikiran anak-anak kita, betapa bahagianya melakukan aktivitas mengandalkan fisik dan pikiran mereka. 

Saya bayangkan tiap sore, tiap lapangan, anak-anak kita akan menghabiskan waktu berekspresi di lapangan-lapangan itu. Artinya, melarang penggunaan hp tanpa membuka ruang-ruang sosial untuk mengekspresikan bakat, minat dan semangat mereka tentu saja bukan solusi sama sekali. Di sinilah peran pemerintah kampung, kecamatan, dan kabupaten berkolaborasi mengatasi persoalan menyedihkan dalam dunia pendidikan kita.

Edi Miswar Mustafa: Koordinator FAMe Pidie Jaya dan Penggiat Komunitas Muda Japakeh.