28 September 2025
Opini

Aceh dan Gaza : Dua Panggung Perlawanan Umat

Prang Atjeh 1873–1904 dan Perang Gaza 1967–2025: Dua Kisah, Satu Derita Umat

OPINI - “Beungöh singöh geutanyoe jep kupi di Keudee Meulaboh, atawa ulon akan syahid di jalan Allah!” kata Teuku Umar, kepada pasukan perang Aceh.

Teriakan itu menggema dari lorong sejarah tanah Rencong. Bukan sekadar seruan, tapi tekad. Bukan hanya kata, tapi nyawa yang digadaikan demi tanah, marwah, dan agama. Teuku Umar dan para pejuang Aceh tidak sedang membela batas tanah. Mereka sedang mempertahankan kehormatan. Hari ini, gema itu serasa bergema kembali, namun kali ini dari reruntuhan Gaza.

Dua peristiwa, dua bangsa, dua waktu. Tapi keduanya memiliki satu benang merah: penjajahan yang biadab, dan perlawanan yang suci.

Christoffel dan Luka yang Tak Kunjung Pulih

Belanda menyebutnya “Strategi Pembersihan.” Kami menyebutnya Metode Christoffel, atau dalam sejarah Aceh dikenal sebagai strategi “bumi hangus.” Laksamana J.B. van Heutsz mengutus Letnan Christoffel untuk menaklukkan Aceh dengan cara yang kejam: membakar kampung, membunuh wanita dan anak-anak, serta memenggal kepala setiap pemuda yang dicurigai sebagai pejuang.

Ribuan warga sipil menjadi korban. Aceh berubah menjadi ladang kematian. Tapi yang lebih mengerikan: metode ini tidak hanya menghabisi tubuh, tetapi juga meretakkan jiwa. Aceh dirampok secara fisik dan psikologis, disisakan hanya puing-puing dan luka kolektif.

Lalu, sejarah pun berulang.

Gaza: Salinan Luka dalam Wajah Baru

Jika Aceh adalah luka kolonialisme klasik, maka Gaza adalah luka dari penjajahan modern. Sejak 1967, Palestina digerus bukan hanya oleh senjata, tapi juga oleh sistematisasi penjajahan yang diperhalus: blokade ekonomi, disinformasi media, dan propaganda internasional.

Metodenya? Sama seperti Christoffel. Israel menghancurkan permukiman, menjadikan anak-anak sebagai target, dan menjinakkan dunia dengan narasi “hak membela diri.” Padahal yang mereka lakukan adalah pendudukan.

Seperti Aceh dahulu, Gaza hari ini pun dipaksa tunduk. Tapi seperti Aceh juga, mereka memilih jalan perlawanan.

Dari Meulaboh ke Rafah: Kopi dan Air Mata

Ketika Teuku Umar berkata “beungöh singöh geutanyoe jep kupi…”, ia menyampaikan satu hal penting: bahkan dalam perang, Aceh masih menyimpan cita rasa kehidupan. Keude Kupie bukan sekadar tempat ngopi, tapi simbol tentang harapan, tentang perbincangan taktik, tentang merancang masa depan setelah penjajah diusir.

Sementara di Gaza, tak ada keude kupie. Hanya tenda pengungsian dan reruntuhan masjid. Tapi semangatnya sama. Mereka bertahan bukan karena kuat, tapi karena yakin. Mereka percaya, sebagaimana rakyat Aceh dulu percaya, bahwa kemenangan bukan tentang siapa yang punya senjata lebih banyak, tapi siapa yang lebih sabar dan lebih cinta tanahnya.

Refleksi Kita: Sejarah Bukan untuk Dilupakan

Saya lahir di Aceh, sebuah tanah yang masih menyimpan jejak-jejak konflik lama. Tapi saya belajar bahwa sejarah bukan untuk dikenang sambil lalu. Sejarah adalah peringatan. Jika kita lupa pada Prang Atjeh, kita akan gagal memahami mengapa Gaza berdarah.

Dan jika kita diam melihat Gaza, maka kita mengkhianati para syuhada Aceh yang telah lebih dulu bersimbah darah untuk kemerdekaan kita.

Luka yang Sama, Umat yang Satu

Gaza dan Aceh terpisah ribuan kilometer, tapi keduanya bertemu di simpul takdir: dijajah karena mempertahankan iman dan identitas. Saat dunia mulai mati rasa terhadap penderitaan Gaza, kita bangsa Aceh harus jadi suara. Karena kita tahu rasanya dibungkam. Kita tahu rasanya dibantai. Kita tahu rasanya menjadi korban narasi penjajah.

Prang Atjeh telah usai, dan Perang Gaza belum menemukan damainya. Namun semangatnya terus menyala di dada mereka yang masih peduli.

Semoga kelak, ketika sejarah ditulis ulang, nama Gaza dan Aceh berdiri sejajar, sebagai bangsa yang tak pernah tunduk pada penjajah.

Oleh: Teuku Saifullah - Ketua Dewan Pertimbangan MPP