Pawang Beurandeh & Polem Beuransah: Surat Domisili Tuha Peut Lebih Sakti dari Suara Rakyat
Foto : Pawang Beurandeh & Polem Beuransah | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID PROHCAKRA- Sore itu, angin dari jalan lintas Banda Aceh - Medan berembus kencang, membawa aroma kopi kampung yang mengepul di pos jaga. Di sudut siskamling tua itu, dua sahabat lama Pawang Beurandeh & Polem Beuransah terlihat sedang prohcakra, mempercakapkan kabar hangat yang sedang mengguncang kampung mereka di Pidie Jaya. Suasana yang biasanya riuh oleh candaan, kini berganti getir oleh kabar tentang surat domisili yang tak ditandatangani Tuha Peut dan pengunduran diri P2K karena merasa diintervensi. Obrolan mereka, seperti biasa, santai, tajam, getir, namun tetap dibumbui tawa kecil yang menggelitik.
Pawang Beurandeh: “Polem, surat domisili calon keuchik sekarang lebih mirip surat cinta tak berbalas. Tak ada tanda tangan Tuha Peut tak anggap sah.”
Polem Beuransah: “Haha, surat cinta tanpa tanda tangan itu bukan cinta, Pawang. Itu jebakan manis untuk bikin orang jatuh.”
Pawang Beurandeh: “Aneh ya, orang tinggal puluhan tahun, tapi masih dianggap numpang. Hanya karena Tuha Peut tak mau tanda tangan.”
Polem Beuransah: “Tuha Peut ini macam hakim kampung, Pawang. Kalau dia diam, orang bisa langsung dihukum tanpa sidang.”
Pawang Beurandeh: “Petahana pun kena getahnya. Dulu dielu-elukan, sekarang diperlakukan macam orang asing.”
Polem Beuransah: “Kapal besar bisa karam, Pawang. Bukan karena ombak, tapi karena ada paku karatan di papan domisili.”
Pawang Beurandeh: “P2K yang harusnya jaga aturan malah angkat tangan. Katanya mereka tak tahan diintervensi.”
Polem Beuransah: “Wajar Pawang, mereka cuma panitia, bukan boneka. Kalau ditarik sana-sini, talinya bisa putus.”
Pawang Beurandeh: “Lucu, P2K mundur, rakyat bingung, tapi Tuha Peut masih bisa tidur nyenyak.”
Polem Beuransah: “Nyenyak kali, Pawang. Mungkin mimpi sedang tanda tangan surat, tapi di dunia nyata tangannya kaku.”
Pawang Beurandeh: “Kalau begini, pemilihan bukan lagi pesta rakyat. Lebih mirip drama panggung, semua aktor main sesuai skenario.”
Polem Beuransah: “Betul. Bedanya, tiket nontonnya rakyat bayar dengan suara, tapi cerita tetap ditulis orang di belakang layar.”
Pawang Beurandeh: “Domisili itu kini lebih berbahaya polem. Tanpa tanda tangan tuha peut bisa menjegal calon keuchik untuk maju.
Polem Beuransah: “Haha, betul Pawang. Kewenangan Tuha Peut sekarang sudah melampaui batas kewenangan yang ada di regulasi.
Pawang Beurandeh: “Saya rasa Tuha Peut ini lebih pintar dari orang pintar. Bisa bikin orang hilang hak dengan selembar kertas.”
Polem Beuransah: “Beda sama orang pintar, Pawang. Kalau orang pintar butuh kemenyan, Tuha Peut cukup dengan tanda tangan atau tidak tanda tangan.”
Pawang Beurandeh: “Akhirnya, rakyat cuma bisa mengeluh di warung kopi. Karena kalau bicara keras-keras, bisa dianggap makar.”
Polem Beuransah: “Makanya Pawang, lebih baik main cabang saja. Bidaknya jelas, jalannya terang. Tak seperti pemilihan, yang jalannya berliku.”
Pawang Beurandeh: “Butoe Polem. Di kampung kita, surat domisili bisa lebih menentukan nasib orang daripada ijazah sekolah.”
Polem Beuransah: “Butoe, Pawang. Kalau begitu, demokrasi di sini bukan suara rakyat, tapi suara pena Tuha Peut yang tak mau bergerak.”
Di ujung percakapan, keduanya terdiam sejenak, menatap jalan raya yang dipenuhi truk besar lalu-lalang, seolah menggambarkan betapa beratnya beban demokrasi di kampung mereka. Pawang Beurandeh menghela napas panjang, Polem Beuransah hanya terkekeh getir. “Kalau begini caranya,” kata Pawang lirih, “lebih baik kita main cabang saja di pos jaga. Aturannya jelas, kalah atau menang ditentukan kelihaian kita sendiri, bukan tanda tangan Tuha Peut.” Polem mengangguk sambil tertawa kecut, “Butoe Pawang, paling kalau kalah main cabang kita jatuh terlelap di pos jaga, bukan jatuh harga diri.”