WTP, Temuan BPK, dan Kemiskinan: Pidie Jaya Pandai Menyulam Angka, Rakyat Menambal Hidupnya Sendiri
Foto : Dok. Google Images/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Pidie Jaya punya catatan yang, di atas kertas, nyaris sempurna. Setiap tahun, tanpa putus, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghadiahi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) gelar yang kerap dipamerkan sebagai bukti tata kelola keuangan yang sehat. Namun, turunlah sejenak dari podium seremonial itu, dan Anda akan melihat kenyataan yang berbeda, jalan lingkungan yang baru dikerjakan sudah retak, jembatan nelayan ambruk sejak bertahun-tahun tak tersentuh perbaikan, dan rumah-rumah reyot tetap berdiri, menunggu janji yang tak pernah tiba.
Meski predikat WTP terus diraih, lemahnya fungsi pengawasan internal oleh APIP membuat kebocoran anggaran, proyek fiktif, dan salah kelola dana publik luput dari tindakan tegas. Aparat pengawasan yang seharusnya menjadi “penjaga gawang” justru sering hanya menjadi penonton, membiarkan praktik markup, belanja tanpa bukti, hingga program yang tak pernah terealisasi berjalan mulus di atas kertas. Kondisi ini membuat rekomendasi BPK berulang tahun demi tahun, sementara rakyat tetap menjadi korban dari sistem yang lebih mementingkan citra di laporan ketimbang perbaikan nyata di lapangan.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2024 kembali membongkar borok lama, kelebihan bayar proyek fisik, perjalanan dinas fiktif, salah klasifikasi anggaran hingga tagihan hotel fiktif yang nilainya milyaran rupiah, setara biaya membangun ratusan rumah layak huni. Ironisnya, pola ini bukanlah temuan “SPESIAL” hampir setiap tahun, kisahnya serupa. Bedanya hanya pada nama proyek dan lokasi titik kebocoran.
Seperti drama yang naskahnya tak pernah diperbarui, SPPD bodong terus dipentaskan. Pejabat “bertugas” ke luar daerah di hari yang sama mereka menghadiri rapat di kabupaten. Kuitansi hotel keluar rapi, meski kaki mereka tak pernah menapak ke lobi hotel tersebut. Laporan pertanggungjawaban pun mulus, tak perlu foto, tak perlu bukti, cukup tanda tangan dan stempel.
Di sisi lain, kehidupan rakyat berjalan di lorong sempit penuh kompromi. Di Gampong Meuko Kuthang, Maimunah menatap atap bocor yang membasahi ranjang anak-anaknya. Permohonannya untuk rumah layak huni sudah diajukan sejak Januari 2024, tapi hanya dijawab dengan sunyi. Di pesisir, para nelayan menatap rangka jembatan yang patah, memaksa mereka melaut lewat jalur berbahaya. Tak ada anggaran untuk memperbaiki, katanya, padahal miliaran rupiah menguap di meja-meja rapat dan “perjalanan dinas” yang hanya ada di arsip.
Kita sering mendengar pejabat berkata, “Opini WTP adalah bukti pengelolaan keuangan yang baik.” Pernyataan ini seperti menilai kesehatan seseorang hanya dari baju yang dipakainya. WTP memang berarti laporan keuangan rapi secara administratif, tapi tidak otomatis mencerminkan uang rakyat digunakan dengan benar atau sampai ke tangan yang berhak. Di Pidie Jaya, justru sebaliknya, WTP jadi tirai tebal yang menutupi panggung kecurangan.
Yang paling menyedihkan, lingkaran ini bertahan karena semua pihak di dalamnya sudah terbiasa. BPK memberi catatan, pemerintah daerah mengangguk, publik menggerutu sebentar lalu kembali sibuk dengan urusan sendiri. Tak ada tindakan tegas, Tak ada yang mengembalikan uang. Sementara itu, lubang di jalan makin dalam, papan rumah makin lapuk, dan anak-anak tumbuh dengan pelajaran pahit, di sini, kebocoran anggaran adalah bahasa sehari-hari.
Pidie Jaya tidak kekurangan uang. Ia hanya kekurangan kemauan untuk menyalurkan uang itu pada yang membutuhkan. Selama opini WTP dijadikan tameng kebanggaan, selama pengawasan internal hanyalah formalitas, dan selama kebocoran dianggap “risiko biasa”, rakyat akan terus hidup di ruang tunggu yang tak pernah mengantarkan mereka pada perubahan.
Di atas panggung, Pidie Jaya terlihat gemerlap dengan sertifikat WTP yang dibingkai rapi. Di bawah panggung, Pidie Jaya adalah cerita tentang jembatan nelayan yang dibiarkan rubuh, rumah reyot yang tak kunjung diperbaiki, dan miliaran rupiah yang lebih betah berputar di lingkaran kekuasaan ketimbang mengalir ke nadi kehidupan rakyatnya. (TS)