28 September 2025
Gampong

Proses Pemilihan Keuchik di Meunasah Pupu Sarat Masalah, Potensi Gagal Pilchiksung Menguat

Foto : Istimewa | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDPencalonan Keuchik di Gampong Meunasah Pupu, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya, tengah diselimuti kontroversi serius yang mengancam semangat demokrasi tingkat desa.

Pembentukan Panitia Pemilihan Keuchik (P2K) dilakukan secara tertutup, tanpa musyawarah gampong sebagaimana diwajibkan oleh regulasi yang berlaku.

Situasi ini memicu gelombang kekecewaan warga. Hingga Sabtu (27/9/2025), sejumlah tokoh masyarakat dan warga masih menanti sikap tegas dari Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya.

Bahkan berdasarkan diskusi dengan para sesepuh gampong, lebih dari 50 persen pemilih diperkirakan tidak akan menggunakan hak suaranya sebuah sinyal kuat akan potensi gagalnya Pilchiksung di gampong tersebut.

Ironisnya, 8 dari 9 anggota P2K sebelumnya mengundurkan diri secara kolektif. Pengunduran diri ini memicu kecurigaan publik bahwa pembentukan panitia baru sarat kepentingan dan dilakukan di luar koridor hukum, melanggar Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009, Qanun Pidie Jaya Nomor 2 Tahun 2018, serta Peraturan Bupati Pidie Jaya Nomor 8 Tahun 2020.

Ketegangan semakin meningkat setelah diketahui bahwa P2K yang dilantik pada 22 September 2025 diduga memiliki afiliasi dengan salah satu calon keuchik. Hal ini memperkuat asumsi adanya intervensi politik dalam proses pemilihan yang semestinya berlangsung netral dan demokratis.

Dalam surat terbuka yang kini beredar luas di masyarakat dan media, warga menuding adanya upaya sistematis untuk menjegal salah seorang calon keuchik yang merupakan mantan pimpinan gampong. Mereka menyebut, P2K sebelumnya mundur karena tidak sanggup menghadapi tekanan dari pihak tertentu, yang dinilai telah menodai independensi panitia dan mencoreng integritas pemilihan di tingkat desa (gampong).

Persoalan semakin kusut saat Ketua Tuha Peut Gampong dituding menolak menandatangani Surat Keterangan Domisili (SKD) bagi calon petahana, meskipun secara regulasi, SKD cukup ditandatangani oleh P2K sesuai Surat Bupati Pidie Jaya Nomor 400.10.2/749 tertanggal 27 Agustus 2025. Anehnya, kebijakan mewajibkan tanda tangan Ketua Tuha Peut ini hanya diterapkan di Kecamatan Ulim, sementara di lima kecamatan lain tidak ada ketentuan serupa. Ketimpangan ini memicu kecurigaan adanya perlakuan diskriminatif terhadap calon tertentu.

Tak hanya itu, Ketua Tuha Peut juga disebut tidak lagi berdomisili di Meunasah Pupu—sebuah pelanggaran serius terhadap Pasal 109 Qanun Pidie Jaya Nomor 2 Tahun 2018, yang menyebut Tuha Peut dapat diberhentikan jika tidak lagi tinggal di wilayah pemilihan. Lebih problematik lagi, salah seorang anggota Tuha Peut justru ikut maju sebagai calon keuchik. Fakta ini kian memperkuat dugaan bahwa konflik kepentingan tengah merasuki proses pemilihan.

Warga menyoroti bahwa Perbup Nomor 8 Tahun 2020 tidak pernah memberikan wewenang kepada Tuha Peut untuk menentukan sah atau tidaknya domisili calon. Tugas utama mereka hanyalah membentuk P2K, sementara seleksi bakal calon adalah wewenang penuh panitia. “Ini jelas bentuk penyalahgunaan kewenangan,” ujar seorang warga dengan nada kecewa.

Musyawarah terakhir pada 18 September 2025 pun berakhir buntu. Upaya membentuk kembali P2K gagal karena sebagian warga menolak terlibat, merasa proses telah direkayasa untuk menggagalkan calon tertentu. Situasi ini membuat tahapan pemilihan terancam mandek, sementara tensi politik di gampong terus meningkat.

Masyarakat Meunasah Pupu kini mendesak agar seluruh calon diberikan kesempatan yang setara, tanpa diskriminasi atau intervensi tersembunyi. Mereka menuntut agar proses demokrasi desa berjalan sesuai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Biarkan rakyat yang menentukan siapa pemimpin gampong ke depan, bukan segelintir pihak yang bermain di belakang layar,” tegas warga dalam pernyataan terbuka mereka. (**)