26 Juli 2025
Opini

Tombol Gerbang Perang Dunia ke-3 Telah Terbuka

Oleh: Fakhrurrazi - Pengurus Masyarakat Pidie Jaya Peduli (MPP)

OPINI - “Ketika api besar dinyalakan dari kesombongan kuasa, maka bukan hanya musuh yang terbakar tetapi seluruh peradaban.”

Tanggal 22 Juni 2025 bisa tercatat sebagai salah satu hari tergelap dalam sejarah modern. Di hari itu, rudal-rudal Amerika Serikat dan Israel meluncur menuju fasilitas nuklir Iran, menghantam lokasi strategis seperti Fordow, Natanz, dan Isfahan. Dunia pun gemetar.

Serangan ini bukan sekadar aksi militer terbatas. Ini adalah pesan simbolik perang terbuka telah dimulai. Iran menyatakan akan membalas dengan cara yang “tak terduga”. Dunia pun menahan napas apakah ini awal dari Perang Dunia ke-3?

Keterlibatan Blok Adidaya

Tak bisa dimungkiri, perang Iran-Israel kini telah berubah bentuk menjadi konflik antarblok dunia. Amerika mendukung penuh Israel. Rusia dan Tiongkok mengecam keras serangan ini. Kecaman Rusia bahkan sangat jelas: dunia hanya tinggal “milimeter dari bencana nuklir.”

Jika perang ini terus membesar, kita bisa menyaksikan munculnya dua kubu utama

Blok Barat (AS, NATO, Israel)

Blok Timur: Rusia, Iran, Suriah, Korea Utara, dan negara-negara BRICS

Ini bukan lagi retorika. Ini gejala awal dari rekonstruksi geopolitik global. Dan, sejarah mencatat dua perang dunia sebelumnya juga dimulai dari “konflik terbatas yang membesar”.

Media Sosial,  Lelucon Tapi Serius

Salah satu hal paling mencolok adalah bagaimana generasi muda merespons isu ini di media sosial. Meme-meme seperti “Is this gonna affect my SHEIN order?” menyebar cepat. Di balik tawa dan candaan itu, sesungguhnya ada kecemasan global yang terbungkus sarkasme.

Gen Z tidak bodoh. Mereka hanya bingung bagaimana menghadapi dunia yang makin tidak waras.

Dampak Langsung dan Tidak Langsung bagi Indonesia

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak bisa menganggap ini sebagai “urusan luar negeri semata”. Dampaknya nyata, luas, dan mengancam keutuhan bangsa jika tidak disikapi serius.

1. Krisis Energi dan Ekonomi

Jika Selat Hormuz diblokade, harga minyak akan melonjak drastis.

Indonesia, yang masih tergantung pada energi impor, akan menghadapi tekanan besar: inflasi, PHK massal, daya beli jatuh.

2. Radikalisasi dan Pemberontakan

Kelompok-kelompok ekstrem bisa memanfaatkan situasi global ini untuk memprovokasi masyarakat.

Sentimen anti-Barat, anti-pemerintah, hingga gerakan separatis bisa muncul dengan dalih solidaritas atau kekecewaan.

3. Potensi Intervensi dan Ancaman Kedaulatan

Jika Indonesia terperangkap dalam pengaruh salah satu blok, bisa muncul tekanan dari pihak lain, embargo, sabotase digital, hingga tekanan militer terselubung.

Wilayah strategis seperti Papua, Natuna, bahkan jalur pelayaran bisa jadi target kepentingan global.


Sikap Indonesia, Tidak Bisa Lagi Netral Pasif

Netralitas adalah pilihan diplomatik, tetapi netralitas yang pasif adalah bahaya. Indonesia harus aktif

Mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk segera menghentikan eskalasi.

Mendorong Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menginisiasi dialog dunia Islam–Barat.

Menjaga stabilitas nasional dengan memperkuat ketahanan pangan, energi, dan sosial.

Indonesia harus menjadi penengah, bukan pengikut. Kita punya modal sejarah, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dan reputasi sebagai negara damai. Jangan sia-siakan itu.

Antara Kobaran dan Harapan

Tombol Perang Dunia ke-3 memang telah ditekan. Tapi dunia masih punya satu tombol lagi: tombol perdamaian. Pertanyaannya, siapa yang cukup bijak dan berani untuk menekannya?

Jika Indonesia hanya menjadi penonton, maka cepat atau lambat, kita pun akan terhisap dalam pusaran api ini. Sebaliknya, jika kita bersuara hari ini meski kecil kita masih bisa menjadi bagian dari kekuatan yang menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Karena di era perang global, diam bukan lagi kebijaksanaan diam adalah pembiaran atas kejahatan yang akan menjalar ke rumah kita sendiri.

Oleh : Fakhrurrazi
Pengurus Masyarakat Pidie Jaya Peduli (MPP)
Pemerhati Isu Global dan Perdamaian Dunia