Abu Nawas dan Tiga Wajah Manusia: Id, Ego, dan Super Ego
OPINI - Pada suatu hari di negeri Baghdad, di masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, tersiar kabar bahwa sang Khalifah tengah resah. Bukan karena ancaman musuh atau krisis di dalam negeri, melainkan karena ia mulai meragukan satu hal penting dalam hidup: apa yang membuat seseorang pantas disebut bijaksana?
Maka dipanggillah Abu Nawas, sang pujangga dan filsuf jalanan yang terkenal akan kecerdikannya.
“Abu Nawas,” kata Khalifah, “Jawablah satu pertanyaanku ini. Apa yang membedakan orang bijak dengan orang biasa?”
Abu Nawas tersenyum simpul. Ia tahu, pertanyaan ini bukan sekadar permainan kata, tapi sebuah pintu menuju renungan yang dalam.
“Tuanku,” jawab Abu Nawas tenang, “untuk menjawabnya, izinkan hamba membuat sebuah sandiwara kecil besok pagi di alun-alun Baghdad. Di sana, kebenaran akan terlihat.”
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di alun-alun. Abu Nawas telah menyiapkan tiga orang yang masing-masing akan memerankan tokoh dalam diri manusia mereka adalah Si Niat (Id), Si Tindakan (Ego), dan Si Pengendali (Super Ego).
Si Niat, Menggoda
Si Niat maju ke tengah dan berteriak “Aku ingin kekuasaan, aku ingin kekayaan, aku ingin semua orang tunduk padaku!”
Ia menampakkan nafsu yang tak terkendali, keinginan yang meledak-ledak. Inilah sisi dalam manusia yang sering tersembunyi, tapi sangat kuat Id, sang hasrat murni.
Si Tindakan, Bertindak
Kemudian Si Tindakan melangkah maju. Ia mewakili Ego, yang bertugas menyeimbangkan keinginan dan kenyataan. Ia berkata:
“Baik, aku akan mulai merayu orang-orang, menjilat pejabat, memutar fakta, asal semua keinginan itu tercapai.”
Ia lincah, penuh akal, dan sangat logis. Tapi tanpa kendali, tindakannya bisa membahayakan.
Si Pengendali, Menenangkan
Lalu muncullah Si Pengendali. Ia berjalan pelan, membawa tongkat dan kitab di tangannya. Suaranya lembut tapi tegas.
“Berhentilah,” katanya. “Apakah kekuasaan tanpa moral akan membawa kebaikan? Apakah harta tanpa batas takkan menjerumuskan? Ingatlah, ada yang lebih tinggi dari keinginanmu: hati nurani, akal sehat, dan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama dan kebijaksanaan.”
Ia adalah Super Ego, pengendalian diri. Di sinilah bijaksana itu lahir dari kemampuan untuk menahan diri, mengintrospeksi diri, dan memilih jalan yang benar, meski jalan itu tidak mudah.
Abu Nawas kemudian berdiri dan berkata,
“Tuanku, orang bijak bukanlah mereka yang tak punya nafsu, bukan pula yang hanya pintar bersiasat. Tapi mereka yang mampu menundukkan dirinya sendiri, memilih yang benar walau pahit, menahan diri walau bisa bertindak semena-mena. Di sanalah letak keagungan seorang manusia.”
Ia melanjutkan:
“Saling introspeksi dan menahan diri bukanlah kelemahan, tapi justru tanda kekuatan. Hanya para kesatria sejati yang mampu melawan dirinya sendiri demi kepentingan yang lebih besar, demi kemaslahatan umat, dan demi menjaga kedamaian bersama.”
Khalifah mengangguk. Ia tahu, pertanyaan yang ia ajukan telah dijawab bukan dengan teori, tapi dengan cermin kehidupan.
Super Ego adalah pengendalian diri. Ia dimiliki oleh orang-orang yang telah mengalahkan dirinya sendiri. Di sanalah bijaksana dan keberanian sejati lahir bukan dari kekuatan memukul, tapi dari kekuatan menahan diri.
Penulis:
Fakhrurrazi, S.ST., M.Si
Penulis kisah hikmah dan Reflektif Jiwa