Pawang Beurandeh & Polem Beuransah Bicara APBK, Dulu Disahkan Secepat Bayangan, Kini Ditunda Demi Kepentingan!
PROH CAKRA!
Pawang Beurandeh:
"Peu na neu teupeu, Polem? APBK belum disahkan juga. Padahal tahun sudah hampir habis, tapi palu tak kunjung diketuk. Kukira dewan kita sekarang lebih takut palu daripada nyamuk demam berdarah."
Polem Beuransah:
"Haha! Mungkin mereka sedang cari momentum yang pas, Pawang. Bukan pas untuk rakyat, tapi pas untuk pembagian yang tak tertulis dalam draf."
Pawang:
"Ah, jadi begini rupanya kerja wakil rakyat kita. Bukan sibuk pikir sekolah bocor, jalan rusak, atau petani yang tak laku panennya, tapi sibuk siapa dapat bagian berapa."
Polem:
"Benar, Pawang. APBK bukan lagi soal pembangunan. Itu sudah jadi ladang tawar-menawar. Mereka bukan bahas program, tapi nego posisi dan proyek titipan."
Pawang:
"Jadi rapat di gedung dewan itu bukan lagi ruang musyawarah, tapi ruang transaksi?"
Polem:
"Bukan cuma transaksi, Pawang. Sudah seperti meja permainan. Siapa berani tekan, siapa bisa gertak, dia yang menang. Rakyat? Cuma jadi penonton yang tak diundang."
Pawang:
"Lucunya, dulu mereka bangga bisa sahkan APBK dalam 17 menit. Kita kira hebat. Rupanya terburu-buru karena sudah selesai 'diatur' dari belakang layar."
Polem:
"Dan sekarang, karena belum ada 'kesepakatan di meja belakang', maka rapat pun ditunda-tunda. Alasan formal? Masih proses. Alasan sebenarnya? Belum semua kebagian."
Pawang:
"Kukira rakyat pilih mereka untuk jadi pejuang, rupanya malah jadi penjaga pintu masuk proyek."
Polem:
"Lebih tepatnya jadi calo aspirasi. Semua harus lewat mereka, tapi mereka sendiri sibuk mengaspal jalan ke dompet sendiri."
Pawang:
"Yang lebih lucu, setiap ditanya soal keterlambatan, jawabnya 'masih berproses'. Tapi prosesnya tak pernah jelas, dan hasilnya tak pernah terasa."
Polem:
"Seperti memasak nasi yang tak kunjung matang, padahal apinya besar. Mungkin berasnya tak ada, yang ada cuma asap pencitraan."
Pawang:
"Aku jadi rindu zaman bupati bapak pembangunan, meski satu periode, tapi setidaknya ada bangunan berdiri. Sekarang, yang berdiri cuma janji."
Polem:
"Betul. Mereka pintar bicara soal transparansi, tapi rapat dilakukan di ruang tertutup. Bicara partisipasi publik, tapi rakyat bahkan tak tahu apa isi anggaran."
Pawang:
"Yang rakyat tahu hanya dampaknya: bantuan tersendat, gaji tenaga kontrak tertunda, pembangunan tak jalan, tapi mobil dinas tetap ganti plat."
Polem:
"Karena mereka percaya, citra lebih penting daripada kinerja. Yang penting terlihat sibuk, walau tak jelas apa yang mereka kerjakan."
Pawang:
"Aku heran, Polem. Mengapa makin tinggi jabatan seseorang, makin lihai dia menunda kebenaran dan menyusun alasan?"
Polem:
"Itu karena mereka bukan lagi bekerja untuk rakyat, Pawang. Mereka bekerja untuk mempertahankan kursi. Dan kursi itu butuh biaya. Maka APBK pun jadi alat tukar."
Pawang:
"Jadi, selama APBK belum disahkan, rakyat hanya bisa gigit jari?"
Polem:
"Bahkan gigit jari pun lama-lama tak sanggup, karena harga minyak goreng naik, harga beras naik, tapi pengesahan anggaran tetap diam di tempat."
Pawang:
"Kalau begini terus, lebih baik kita panggil dukun kampung untuk sahkan APBK. Siapa tahu, lebih cepat, minimal ada dupa dan ketulusan."
Polem:
"Atau serahkan ke ibu-ibu PKK. Mereka lebih paham mana kebutuhan dapur, mana yang cuma buat hiasan."
Pawang:
"Kau tahu, Polem, aku tak marah APBK lambat disahkan. Aku hanya muak melihat wajah-wajah yang tak pernah merasa bersalah."
Polem:
"Sebab mereka sudah terlalu nyaman hidup di antara anggaran, lupa rasanya hidup dengan harapan."
Pawang:
"Padahal harapan rakyat itu sederhana: jalan tak becek, air bersih mengalir, sekolah tak bocor, harga cabe stabil."
Polem:
"Tapi yang mereka sibukkan adalah: proyek mana bisa dikuasai, siapa yang pegang paket pengadaan, dan berapa persen yang kembali ke kantong sendiri."
Pawang Beurandeh:
"Jadi, sampai APBK disahkan nanti, kita tunggu saja, sambil tetap tanam cabe. Karena kalau harap pada mereka, bisa-bisa yang panen cuma kecewa."
Polem Beuransah:
"Benar, Pawang. Setidaknya cabe ini pedasnya nyata. Tidak seperti janji mereka, manis di mulut, pahit di kenyataan.