Peran Legislatif dalam Penunjukan Sekda: Kewenangan dan Pengawasan
OPINI - Penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) oleh gubernur merupakan proses yang diatur dalam berbagai regulasi, terutama dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut, gubernur memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Sekda setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Proses seleksi Sekda dilakukan melalui panitia seleksi (Pansel) independen yang terdiri dari unsur pemerintah dan akademisi. Hasil seleksi kemudian mengerucut pada tiga nama calon terbaik yang diajukan kepada gubernur untuk dipilih salah satunya.
Secara hukum, DPRD tidak memiliki kewenangan langsung dalam menetapkan Sekda karena keputusan final ada di tangan gubernur dengan persetujuan Mendagri. Namun, DPRD tetap berperan dalam mengawasi jalannya proses seleksi. Fungsi pengawasan ini bertujuan memastikan bahwa seleksi dilakukan secara transparan dan sesuai aturan. Jika ditemukan indikasi penyimpangan, DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau hak angket untuk meminta klarifikasi dari gubernur.
Selain fungsi pengawasan, DPRD juga memiliki peran dalam penganggaran. Sebagai lembaga legislatif daerah, DPRD berwenang menyetujui anggaran yang digunakan dalam seleksi dan pengangkatan Sekda, termasuk belanja untuk panitia seleksi dan pelaksanaan tes. Dalam ranah legislasi, DPRD juga dapat mengusulkan regulasi daerah yang memperjelas mekanisme seleksi agar lebih profesional dan akuntabel.
Jika DPRD tidak setuju dengan Sekda yang telah ditunjuk, mereka tidak memiliki hak veto untuk membatalkan keputusan gubernur. Namun, DPRD tetap dapat mengajukan rekomendasi kepada gubernur agar mempertimbangkan ulang pilihannya. Selain itu, DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau angket guna meminta penjelasan dari gubernur serta mengevaluasi kinerja Sekda melalui forum resmi seperti rapat paripurna.
Kekhususan Aceh dalam Penetapan Sekda
Di Aceh, penunjukan Sekda memiliki kekhususan tersendiri karena diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, proses pengangkatan Sekda Aceh harus melalui konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UUPA. Konsultasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme yang memungkinkan DPRA memberikan pertimbangan sebelum gubernur menetapkan Sekda Aceh.
Proses seleksi Sekda Aceh tetap dilakukan melalui panitia seleksi, dengan hasil seleksi menghasilkan tiga calon terbaik yang diajukan kepada gubernur. Setelah itu, gubernur berkonsultasi dengan DPRA sebelum menetapkan salah satu dari tiga calon tersebut sebagai Sekda Aceh. Dalam konteks keistimewaan Aceh, keputusan ini tidak memerlukan persetujuan Mendagri seperti di daerah lain.
DPRA memiliki peran lebih besar dibandingkan DPRD provinsi lain dalam proses penunjukan Sekda. Selain hak konsultasi, DPRA juga dapat memberikan rekomendasi terkait calon yang dianggap lebih layak atau tidak memenuhi kriteria. Selain itu, DPRA berwenang mengawasi kinerja Sekda setelah ditetapkan. Jika Sekda yang dipilih gubernur dianggap tidak kompeten atau bermasalah, DPRA dapat menggunakan hak interpelasi atau angket serta memberikan rekomendasi kepada gubernur agar mempertimbangkan pergantian Sekda.
Penunjukan Plt. atau Pj. Sekda Aceh
Dalam situasi tertentu, gubernur dapat menunjuk Pelaksana Tugas (Plt.) atau Penjabat (Pj.) Sekda untuk mengisi kekosongan jabatan. Namun, berbeda dengan pengangkatan Sekda definitif, penunjukan Plt. tidak memerlukan konsultasi dengan DPRA. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang menyebutkan bahwa jika terjadi kekosongan jabatan Sekda, maka bisa diisi oleh Plt. atau Pj. yang berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama (eselon II).
Berdasarkan praktik administrasi pemerintahan, pengangkatan Plt. Sekda merupakan kewenangan penuh gubernur dan hanya perlu dilaporkan kepada Mendagri. Namun, jika DPRA merasa ada permasalahan dalam penunjukan Plt., mereka tetap dapat meminta klarifikasi kepada gubernur dan menggunakan hak pengawasan untuk mengevaluasi kinerjanya. Dengan demikian, meskipun DPRA memiliki peran dalam konsultasi untuk Sekda definitif, mereka tidak memiliki kewenangan untuk menolak atau mengintervensi penunjukan Plt. Sekda.
Sebagai kesimpulan, dalam konteks pemerintahan daerah secara umum, DPRD hanya memiliki peran pengawasan terhadap proses penunjukan Sekda, tanpa kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan. Namun, di Aceh, DPRA memiliki peran lebih besar melalui mekanisme konsultasi sebelum gubernur menetapkan Sekda definitif. Sementara itu, untuk penunjukan Plt. Sekda, gubernur tetap memiliki kewenangan penuh tanpa perlu persetujuan DPRA. Oleh karena itu, pengawasan dari legislatif tetap menjadi aspek penting guna memastikan transparansi dan profesionalisme dalam pengelolaan pemerintahan daerah.
Oleh : Tgk. Muhammad - Pidie Jaya, Aceh