03 Juni 2025
Opini

Pemimpin Merakyat dan Keude Kupi: Ruang Aspirasi yang Tak Boleh Diabaikan

Oleh: Tu Mul - Penikmat Kopi, Pendengar Curhat Rakyat, Bukan Pejabat

OPINI - Di tengah tuntutan transparansi dan keterbukaan informasi publik, gaya kepemimpinan yang eksklusif yang menjauhkan pemimpin dari denyut nadi rakyat, semakin terasa usang. Masyarakat hari ini tidak lagi terpukau oleh janji politik yang dilontarkan dari atas panggung megah. Mereka menginginkan pemimpin yang hadir, mendengar langsung, dan menyelami realitas kehidupan warga secara nyata.

Di Aceh, salah satu ruang sosial yang hidup dan mencerminkan dinamika masyarakat adalah warung kopi atau keude kupi dalam istilah lokal. Tempat ini bukan sekadar lokasi untuk menikmati kopi berkualitas, melainkan ruang pertukaran informasi, diskusi hangat, bahkan forum kritik dan gagasan. Ia merupakan parlemen rakyat yang tak tertulis—tempat curhat sosial dan politik mengalir tanpa sensor, tanpa protokoler.

Dalam konteks itu, kehadiran pemimpin di keude kupi bukanlah sebuah gaya, melainkan sebuah kewajiban. Pemimpin yang ingin membangun daerah secara inklusif harus membuka telinga dan hatinya di ruang-ruang rakyat seperti ini. Bukan hanya duduk di ruang rapat berpendingin udara, melainkan hadir di warung-warung kopi dari pusat kota hingga ke pelosok gampong. Di sanalah suara rakyat terdengar jujur, apa adanya, tanpa polesan.

Sebagaimana Polri memiliki program “Jumat Curhat” untuk menjaring keluhan publik secara langsung, pemerintah daerah pun sudah saatnya meluncurkan inisiatif serupa yang kontekstual dan berbasis budaya lokal. Sebuah program yang bisa dinamai:

“Dari Keude Kupi, Jak Sama-sama Tabangun Negeri”

Melalui program ini, kepala daerah bersama jajaran dinas terkait turun langsung ke keude-keude kupi secara berkala. Dialog dilakukan terbuka dan santai, tanpa sekat formalitas. Di tengah aroma kopi Aceh, masyarakat bisa menyampaikan keluhan, ide, bahkan kritik, mulai dari soal jalan rusak, pelayanan kesehatan, hingga proses birokrasi yang mempersulit.

Yang lebih penting, hasil dari pertemuan semacam ini tidak boleh berhenti sebagai dokumentasi atau laporan seremonial. Aspirasi yang dihimpun mesti menjadi fondasi utama dalam menyusun kebijakan publik. Dengan demikian, pembangunan menjadi lebih tepat sasaran, berbasis kebutuhan riil, serta efisien dari sisi anggaran dan dampak.

Pemimpin yang mau membuka diri di hadapan rakyat akan memperoleh tempat istimewa di hati warganya. Bukan karena pencitraan, melainkan karena keberanian untuk mendengar langsung dan bersikap responsif terhadap kritik. Sosok seperti ini adalah representasi kepemimpinan yang relevan dan dibutuhkan di masa kini.

Kini saatnya keude kupi diakui sebagai bagian penting dari ekosistem demokrasi lokal. Sudah waktunya warung kopi dijadikan ruang resmi penjaringan aspirasi rakyat, ruang yang hangat, egaliter, dan jauh dari intimidasi.

Sebab membangun dari rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat tidak cukup dilakukan dari balik meja kerja. Ia harus dimulai dari balik cangkir kopi yang menyatukan cerita, menyuarakan harapan, dan menyalakan semangat perubahan.