09 Juni 2025
Opini

Membaca Buku, Melatih Daya Pikir Bangsa

Oleh: Fakhrurrazi RA

OPINI - Di tengah gempuran media sosial dan konten instan, kita seolah sedang menyaksikan pergeseran besar dalam cara manusia menyerap pengetahuan dan membentuk pemikiran. Karlina Supelli, filsuf dan cendekiawan perempuan Indonesia, dengan tajam mengingatkan: “Baca buku itu tidak bisa ganti dengan tiktok dan nonton film. Karena kerja otak hanya bisa dilatih menjadi tajam kalau otak itu berdialog (yaitu dengan baca buku).”

Pernyataan ini bukan sekadar nostalgia atas romantika masa lalu ketika orang membaca buku di perpustakaan atau taman kota. Ini adalah peringatan serius akan risiko hilangnya budaya berpikir mendalam akibat dominasi konsumsi visual dan hiburan cepat saji. Membaca buku adalah tindakan dialogis — antara pembaca dan penulis, antara pikiran dengan ide, antara pertanyaan dengan pencarian makna.

Albert Einstein pernah berkata, “Reading after a certain age diverts the mind too much from its creative pursuits. Any man who reads too much and uses his own brain too little falls into lazy habits of thinking.” Namun dalam konteks sekarang, masalahnya bukan “membaca terlalu banyak,” melainkan “tidak membaca sama sekali.” Kita terlalu sibuk melihat, menggulir, dan menyerap — tanpa sempat merenung, apalagi mempertanyakan.

Membaca buku melatih konsentrasi, membentuk logika berpikir, dan memperkaya kosakata serta daya imajinasi. Buku tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mengajukan pertanyaan. Di sinilah pembeda utamanya dengan konten visual yang cenderung satu arah dan dangkal. Membaca adalah aktivitas kognitif aktif; menonton lebih bersifat pasif.

John Dewey, filsuf pendidikan asal Amerika Serikat, pernah menyatakan, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Dan membaca adalah nadi dari pendidikan yang sejati. Jika pendidikan dimaknai sekadar penghafalan dan sertifikat, maka tak heran jika budaya membaca menjadi asing. Namun jika pendidikan adalah proses berpikir kritis dan refleksi, maka membaca harus menjadi fondasinya.

Indonesia membutuhkan masyarakat pembelajar, bukan hanya penonton. Ketahanan suatu bangsa bukan hanya terletak pada kekuatan militer atau sumber daya alamnya, tetapi juga pada ketajaman daya pikir rakyatnya. Budaya baca bukan sekadar soal akses terhadap buku, melainkan soal kehendak dan kebiasaan intelektual. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa literasi adalah kekuatan lunak yang menentukan arah peradaban.

Dalam iklim demokrasi yang sehat, masyarakat yang mampu membaca secara kritis akan lebih tahan terhadap hoaks, populisme murahan, dan manipulasi politik. Sebaliknya, masyarakat yang malas membaca akan mudah diarahkan oleh narasi-narasi emosional yang viral, tanpa sempat mengevaluasi substansinya.

Kini, saatnya kita tidak hanya berbicara tentang pentingnya literasi, tetapi menjadikannya gerakan nyata: di rumah, sekolah, tempat kerja, hingga ruang publik. Karena seperti yang dikatakan Malcolm X, “People don’t realize how a man’s whole life can be changed by one book.”

Mari kita mulai dari satu buku, satu pikiran, dan satu tekad: membangun bangsa yang berpikir.