09 Juni 2025
Opini

Luka yang Diperpanjang: Dampak Psikologis dan Etika Bermedia Sosial dalam Memviralkan Kasus Bullying Anak

Oleh: Fakhrurrazi, S.ST., M.Si., CHI - Ketua DPC Perkumpulan Komunitas Hipnotis Indonesia (PKHI) Kabupaten Pidie Jaya

OPINI - Di era digital, media sosial telah menjelma menjadi panggung terbuka tempat masyarakat menyuarakan kepedulian terhadap berbagai isu, termasuk kasus bullying di sekolah. Meski tujuannya seringkali mulia—yaitu mencari keadilan—sayangnya tidak sedikit yang menyebarluaskan kasus tersebut secara emosional dan tanpa pertimbangan etis. Ini bukan hanya memperburuk keadaan, tetapi juga dapat menimbulkan luka psikologis jangka panjang bagi anak-anak yang terlibat.

Perspektif Psikologi: Trauma Sekunder dan Efek Labeling

Anak-anak berada dalam tahap perkembangan mental dan emosional yang sangat rentan. Ketika mereka menjadi korban atau bahkan pelaku bullying, perhatian publik yang berlebihan melalui media sosial bisa menyebabkan trauma sekunder. Korban merasa dihukum dua kali: pertama oleh pelaku bullying, dan kedua oleh publik yang tanpa sadar mempermalukan mereka di ruang digital.

Bagi pelaku, meski perlu diberi sanksi dan pembinaan, namun tindakan viral yang memojokkan dapat memperkuat identitas negatif dalam dirinya. Label seperti “anak nakal” atau “calon kriminal” justru membuat mereka kehilangan ruang untuk berubah. Di usia perkembangan, efek labeling sosial sangat kuat dalam membentuk kepribadian jangka panjang.

Perspektif Etika Bermedia Sosial: Keadilan dan Perlindungan Anak

Etika bermedia sosial mengharuskan kita untuk bertanggung jawab atas setiap unggahan, terutama ketika menyangkut anak-anak. Undang-undang perlindungan anak mengamanatkan bahwa identitas anak harus dirahasiakan, terlebih dalam konteks peristiwa yang menimbulkan tekanan psikologis.

Yang lebih disayangkan, justru mereka yang berpendidikan tinggi seringkali ikut memviralkan tanpa filter, tanpa empati. Alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan ini justru membuka luka yang lebih dalam dan melanggengkan siklus perundungan digital. Oleh karena itu, sangat bijak kiranya jika setiap postingan yang sudah terlanjur tayang segera dihapus demi perlindungan jangka panjang bagi anak-anak kita.

Anak Siapa? Dia Anakku!

Mungkin banyak yang bertanya, “Ini anak siapa?” Jawaban yang paling bijak adalah dia anak kita semua! Anak usia sekolah adalah bagian dari generasi penerus bangsa, dan setiap kita—guru, orang tua, tokoh masyarakat, pemilik akun media sosial—memiliki tanggung jawab moril untuk mendidik dan melindungi mereka.

Dengan menganggap bahwa setiap anak adalah anak kita sendiri, maka rasa empati dan kepedulian kita akan lebih tulus, lebih bijaksana, dan lebih membangun.

Jalan Edukatif dan Pemulihan

Mari hentikan budaya viralisasi yang merusak. Mari bangun budaya digital yang lebih sehat, lebih mendidik, dan lebih berpihak kepada masa depan anak-anak kita. Mereka butuh bimbingan, bukan penghukuman massal. Butuh empati, bukan sensasi. Butuh perlindungan, bukan eksposur yang mempermalukan.

Mari kita bijak bermedia sosial. Karena setiap anak, adalah anak kita juga.