Iman, Hijrah, dan Jihad: Tiket Menuju Surga
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID Ruang Tafakur -Dalam keheningan malam atau hiruk-pikuk siang hari, kita semua sesungguhnya sedang menempuh perjalanan. Bukan sekadar perjalanan usia atau profesi, melainkan perjalanan spiritual menuju akhir yang pasti yakni kematian, hisab, dan surga atau neraka. Di tengah jalan kehidupan yang penuh ujian dan tipu daya, Allah memberi petunjuk terang: iman, hijrah, dan jihad. Tiga kata sederhana yang jika direnungkan dengan hati jernih, mampu menjadi cahaya penunjuk arah di tengah kegelapan dunia.
Iman: Pondasi yang Menghidupkan Hati
Iman bukan sekadar ucapan “saya beriman”. Ia adalah cahaya yang menembus lubuk hati terdalam, menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan cinta kepada-Nya. Iman bukan sekadar ritual, melainkan kesadaran ruhani bahwa hidup ini bukan main-main. Ia adalah keyakinan yang melahirkan amal, menumbuhkan akhlak, menundukkan ego, dan mengangkat derajat manusia dari kebinatangan kepada kemuliaan.
Seorang mukmin sejati bukan hanya takut ketika bersalah, tapi juga malu ketika jauh dari Allah. Ia menjaga shalatnya bukan karena kewajiban semata, tapi karena rindu pada Tuhannya. Ia meninggalkan maksiat bukan hanya karena takut dosa, tetapi karena tak ingin mengkhianati cinta Tuhannya. Iman seperti ini bukan sesuatu yang statis—ia naik dan turun, tumbuh dan layu. Maka perlu disiram dengan dzikir, disuburkan dengan ilmu, dan dijaga dengan amal.
Hijrah: Perjalanan Menuju Cahaya
Setelah iman menetap dalam dada, maka tibalah fase perubahan yaitu hijrah. Bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tapi perpindahan eksistensial dari satu keadaan jiwa menuju keadaan yang lebih mulia. Dari lalai menuju sadar, dari cinta dunia menuju cinta akhirat, dari hidup untuk diri sendiri menuju hidup untuk Allah.
Hijrah adalah keputusan berat yang kadang mengharuskan kita meninggalkan zona nyaman: pekerjaan yang haram, relasi yang merusak, kebiasaan yang menumpulkan ruh. Hijrah adalah keberanian mengucap selamat tinggal kepada masa lalu, walaupun di situ ada kenangan, ada teman, ada tawa. Tapi semua itu rela ditinggalkan karena ada tujuan lebih agung: mencari ridha Allah.
Hijrah juga menuntut konsistensi. Banyak yang memulai hijrah dengan semangat, namun layu di tengah jalan karena tidak kuat menanggung beban. Maka perlu bekal: ilmu yang membimbing, teman shalih yang mendukung, dan tentu doa yang tak putus dari hati yang merindu.
Jihad: Pembuktian Cinta dan Komitmen
Iman dan hijrah tidak akan utuh tanpa jihad. Jihad adalah energi yang menggerakkan. Ia adalah pembuktian bahwa hijrah kita bukan basa-basi. Jihad bukan hanya di medan perang, tapi juga di medan hidup: menjaga hati dari hasad, menjaga lisan dari ghibah, menjaga pikiran dari syahwat, menjaga kejujuran di tengah sistem yang korup, menjaga idealisme saat semua orang menjilat.
Jihad bisa berarti bangun subuh saat mata ingin tetap terpejam. Jihad bisa berarti berkata benar saat mayoritas diam. Jihad bisa berarti tetap istiqamah dalam iman, meski ujian datang silih berganti. Dalam jihad, kita diuji bukan hanya kekuatan fisik, tapi keteguhan hati.
Janji Allah: Bukan Sekadar Impian
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. Tuhan mereka memberi kabar gembira kepada mereka dengan rahmat, keridhaan, dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh kenikmatan yang kekal."
(QS. At-Taubah: 20–21)
Janji ini tidak diberikan kepada mereka yang hidup tanpa arah. Surga bukan warisan, tapi buah dari kesungguhan. Rahmat, ridha, dan surga adalah hasil dari iman yang tumbuh, hijrah yang sungguh-sungguh, dan jihad yang tiada henti. Maka jangan menunda untuk menata ulang hidup kita. Jangan tunggu tua untuk bertaubat. Jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur.
Tafakur Diri
Mari kita duduk sejenak, diam, dan bertanya pada diri sendiri:
Sudahkah aku beriman dengan iman yang hidup dan menyala?
Sudahkah aku berhijrah dari kebiasaan lama yang menjauhkan dari Allah?
Sudahkah aku berjihad melawan kemalasan, hawa nafsu, dan kelalaian?
Jika belum, tidak ada kata terlambat. Yang Allah minta bukan hasil yang sempurna, tetapi niat yang jujur dan usaha yang tulus. Selama nyawa masih di dada, pintu taubat masih terbuka.
Semoga kita semua, dengan iman yang kuat, hijrah yang istiqamah, dan jihad yang teguh, layak berdiri di hadapan Allah dengan wajah berseri. Disambut dengan ucapan:
> “Salam sejahtera atas kalian. Masuklah ke dalam surga-Ku, karena amal yang telah kalian kerjakan.”
(QS. An-Nahl: 32)
Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Ditulis oleh:
Ustadz Budiman, M.Si
Warga Sabang, Pecinta Ulama