Drama Birokrasi Pidie Jaya, Ketika PLT Lebih Awet dari Jabatan Tetap
Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Dalam pentas pemerintahan yang seharusnya diisi oleh aktor-aktor berstatus definitif, Kabupaten Pidie Jaya tampaknya memilih jalur sinetron berseri, dengan karakter utama berlabel Pelaksana Tugas (PLT). Sudah lewat episode pemilihan kepala daerah yang sah dan definitif, namun sebagian besar panggung strategis diisi oleh “pemeran pengganti”. Sepuluh jabatan penting masih digawangi oleh PLT, entah karena alasan naskah belum selesai ditulis, atau produser belum menemukan tokoh utama yang cocok.
Publik pun mulai resah, bukan karena bosan, tapi karena drama ini terlalu panjang. Jika PLT adalah istilah sementara, mengapa ia terasa begitu abadi di Pidie Jaya? Apakah ini bentuk seni baru dalam birokrasi, menunda kepastian demi menciptakan ketegangan politik ala “plot twist” dadakan?
Sementara itu, daerah lain seperti di Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Dharmasraya, justru membuka panggung lebih luas, seleksi nasional, semua bisa daftar asal memenuhi syarat. Di Pidie Jaya? Sepertinya naskahnya eksklusif, hanya diperankan oleh aktor-aktor lokal dengan skrip yang dirahasiakan. Tak heran jika suasana birokrasi terasa seperti audisi tanpa akhir, semua menunggu aba-aba sutradara, yang tak kunjung datang.
Beberapa pejabat bahkan sudah mulai mengibarkan bendera putih. Kepala Kesbangpol, Jalil Samidan, pamit karena masa tugasnya telah usai. Sementara itu, sejumlah kadis lainnya mengaku lelah. Bisa jadi karena terlalu lama “syuting” tanpa tahu kapan kontrak diperpanjang, atau karena peran PLT terlalu berat, dituntut berlari cepat dalam sepatu pinjaman.
Di sisi lain, ini juga membuka kemungkinan bahwa memang belum ditemukan “pemain utama” yang pantas naik panggung. Bisa karena kurangnya SDM berkualifikasi, atau bisa juga karena terlalu banyak pertimbangan politik di ruang belakang panggung. Hak prerogatif bupati menjadi pedang bermata dua, bisa memotong cepat, bisa juga justru menggantung nasib jabatan strategis dalam ketidakpastian.
Namun apa pun alasannya, publik tak bisa terus menjadi penonton pasif. Pemerintahan bukan pertunjukan yang boleh ditunda-tunda episodenya. Masyarakat menunggu akting nyata dari para pemimpin, bukan sekadar PLT yang diputar ulang. Apalagi, dinas-dinas strategis adalah ujung tombak pelayanan. Kalau tombaknya tumpul karena hanya dipegang “sementara”, bagaimana bisa menembus masalah kesejahteraan?
Maka, sebelum PLT berubah menjadi Permanen Lelah Takdir, sudah saatnya Pidie Jaya mengakhiri drama jabatan pengganti ini dengan satu keputusan tegas, tunjuk pemain terbaik, isi peran dengan tepat, dan beri masyarakat panggung pelayanan yang sebenarnya. (**)