Bupati Aceh Timur Barter Mobil Dinas dengan Jembatan Rusak di Alue Ie Mirah
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di tengah parade birokrasi yang sibuk dengan pengadaan mobil dinas, rumah dinas, dan segala bentuk fasilitas bak raja Arab di negeri petro-dollar, sebuah kabar dari Aceh Timur justru terasa seperti angin yang salah arah. Seorang bupati, bukan selebgram, bukan pesulap, membuat sebuah gebrakan yang populis untuk rakyatnya, ia membatalkan pembelian mobil dinas senilai Rp850 juta, lalu mengalihkannya untuk membangun jembatan yang sudah setahun lebih ambruk di Gampong Alue Ie Mirah, Kecamatan Pante Bidari.
Bagi rakyat Gampong Alue Mirah, keputusan itu adalah anugerah terindah. Mereka tak lagi harus mempertaruhkan nyawa melintasi batang kelapa yang licin demi mengantar hasil kebun atau anak sekolah. Di tempat lain, ini mungkin terlihat sederhana. Tapi di sini, jembatan adalah urat nadi kehidupan. Dan seorang bupati memilih tanpa pengadaan mobil mewah agar rakyatnya bisa berjalan selamat.
Namanya Iskandar Usman Al-Farlaky. Bupati Aceh Timur. Tak banyak janji, tak banyak gaya. Ia tidak pernah bersumpah akan menyumbangkan jiwa, raga, dan hartanya untuk rakyat. Tapi diam-diam, ia melakukan apa yang banyak pemimpin hanya sanggup tulis di baliho, namun ia berbuat.
Sementara itu di sudut lain Aceh, pemandangan jauh lebih absurd terjadi. Bahkan ada bupati yang tak puas dengan rumah dinasnya sendiri. Ia justru menempati rumah dinas wakil bupati, karena lebih baru, lebih mewah, lebih cocok untuk selera tinggi. Sedangkan sang wakil, yang tampaknya sadar posisi, diam-diam pasrah tinggal di rumah bupati yang lama. Tak ada jembatan yang rusak, tapi logika kepemimpinan yang runtuh pelan-pelan.
Itulah kita: republik yang katanya miskin, tapi para pejabatnya hidup seolah sedang mengebor sumur minyak. Meja kerja seperti istana, mobil seperti pesawat, rumah dinas seperti resort Dubai. Tak heran, ada yang bilang, beberapa pejabat kita tak ubahnya “raja minyak” yang tersesat di kabupaten yang minus APBK. Bedanya, sang raja Arab membangun menara, sementara mereka membangun citra.
Di tengah parade gengsi ini, keputusan Iskandar menjadi satire hidup yang menampar perlahan tapi pasti. Ia menolak simbol kekuasaan, memilih substansi pelayanan. Ia tak mengejar sorotan media, cukup menjawab dengan satu kalimat: “Biarlah saya tak punya mobil dinas, asal rakyat tak menyeberang di atas maut.”
Kita terlalu sering melihat pejabat memoles citra lewat mobil baru, rumah dinas mewah, bahkan dekorasi interior yang lebih cocok untuk film kerajaan. Tapi infrastruktur dasar seperti jembatan, jalan, puskesmas, dan sekolah sering jadi “nanti dulu” karena belum sempat dianggarkan, katanya. Padahal, jika satu ego saja ditunda, satu kampung bisa tersambung.
Ironisnya, kadang kita sebagai rakyat pun ikut terbuai, mengira bahwa pemimpin itu harus tampil seperti sultan agar dihormati. Kita lupa, seorang pemimpin yang baik justru memilih tanah yang becek agar rakyatnya bisa berjalan di jalan yang kering. Ia menahan fasilitas agar rakyatnya bisa hidup lebih layak. Ia diam-diam memotong anggaran dirinya sendiri agar desa di ujung sungai bisa bernafas lega.
Mungkin sejarah tak akan mencatat Iskandar sebagai tokoh besar nasional. Tapi rakyat Pante Bidari akan selalu ingat: ada satu bupati yang tak pakai Alphard, tapi membuat anak-anak mereka bisa ke sekolah tanpa takut tercebur.
Sementara itu, di kantor lain, deru mesin mobil dinas terus mengaspal. Lalu rakyat bertanya dalam hati, siapa yang sebenarnya pantas dipanggil “Yang Mulia”? (TS)