14 Juni 2025
Opini

Ujian Sekolah dan Kepalsuan

Foto : Taufik My., Penggiat Komunitas Muda Japakeh. | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI -

Siapa yang tau,  
Siapa yang mau, 
Kau di sana,
Aku di seberangmu. 
Cerita kita, sulit di cerna 
Tak lagi sama, cara berdoa.

Sepenggal lirik lagu berjudul “Mangu”, yang merupakan gambaran dari sebuah kesenjangan. Ceritanya dimulai di sebuah pelatihan tentang penerapan kurikulum merdeka. Pesertanya terdiri dari para kepala sekolah dan guru. Kala  
itu kami difasilitasi oleh seorang pengawas sekolah.

Saat materi tentang asesmen (ujian) menjadi pokok bahasan, terjadilah diskusi yang hangat. Tetapi ruang lingkup pembicaraannya masih tentang teknik asesmen dan alat bantu. Sebagian besar, mengagungkan Ujian Berbasis Komputer (UBK). Alasannya lebih praktis, efesien dan mudah dalam memetakan hasil.

Sedangkan sebagian lagi ingin kembali ke waktu lampau. Ujian menggunakan kertas. Alasannya karna anak-anak akan lebih fokus. Makin lama, diskusi pun mulai melaju ke arah perdebatan. Karena merasa perdebatannya sudah mulai melenceng dari target, saya pun tunjuk tangan. Dengan harapan diizinkan untuk berargumen. 

Mengingat pembicaraannya masih di ranah Ujian Semester. Setelah diizinkan, saya pun mencoba kembali memancing pikiran waras para peserta. “Di sekolah kami, yang namanya ujian semester kami tiadakan”. Cuma satu kalimat itu saja saya sampaikan.

Sontak semua peserta "tersengat‟ dengan pendapat saya. Lalu berbagai argumen mulailah mengisi ruang pelatihan itu. Intinya mereka tidak setuju. Pada momen tertentu, saya acung tangan lagi. Lalu saya kembali bertanya,  

“Yang kita butuhkan sekarang, ujian atau nilai?” Suasana langsung macam kampung masuk Reo tentara di masa konflik tepat pukul 23.00 WIB.

Latah Teknologi 
Sebenarnya banyak yang ingin saya sampaikan pada saat itu. Namun, 
mengingat momen dan waktu yang tidak memungkinkan, terpaksa hanya membahas sedikit dari inti permasalahan. 

Banyak cerita di luar sana. Ketika sebuah sekolah sudah menerapkan ujian berbasis komputer, ada kebanggaan tersendiri. Seakan mutu sekolahnya akan terasa standar Bill Gates. 

Mereka memvideokan, memfoto, dan mengirim ke media sosial penuh dengan rasa hati meluap-luap bangga. Begitu juga muridnya, jejari mereka begitu lihai 
menjawab 40 soal matematika dan lainnya hanya dalam 10 menit.

Hebatnya lagi, tanpa perlu kertas buram untuk mencari. Maupun bisikan maut yang berisi sandi kepada kawan atau izin buka buku sebentar dari pengawas ujian 
yang baik budi. 

Hilanglah sebuah generasi penulis contekan di malam hari. Lahirlah merekamereka yang berimajinasi tinggi. Mampu selesaikan soal hanya dengan duduk 
manis, laksana pertapa yang sedang bermediasi. 

Luar biasa bukan? 
Di satu sisi guru dituntut untuk membuat soal yang berstandar urutan. Dari tujuan, turun ke kisi-kisi soal, baru kemudian soal itu tercipta. Itu pun lengkap dengan urutan kesukaran, kunci jawaban, dan analisis soalnya. 

Ibarat seorang master koki yang bernama Salt Bae, yang meracik makanan dengan begitu rumit, tapi pelanggan melahapnya hanya dalam sekali gigit.

Apakah tujuan dari ujian itu?  
Konsep Ujian Semester jika ditinjau dari jenisnya, ujian (asesmen) ada tiga jenis utama. Pertama bertujuan sebagai refleksi proses pembelajaran. Kedua tujuannya adalah untuk perbaikan proses pembelajaran. Dan, yang ketiga bertujuan sebagai evaluasi pada akhir proses pembelajaran.

Jika didasarkan pada tujuan yang ketiga, Ujian Akhir Semester dimaksud untuk mengetahui pencapaian siswa setelah lima  
bulan melaksanakan proses belajar. Apakah efektif penilaian tersebut  sekarang?
 
Sebagaimana kita ketahui bersama, ingatan anak-anak zaman sekarang selembut kapas. Banyak kawan guru yang mengeluh, dengan daya ingat anak zaman now. Katanya pas hari ini diajarkan, mereka bisa. 

Tapi besok pas ditanyakan kembali malah sudah lupa semua. Mayoritas mereka memang demikian. 

Belum lagi jika melihat dari sudut pandang kualitas nilai dari hasil ujian tersebut. Hanya dalam hitungan detik, mereka mampu menyelesaikan satu soal. Seakan persepsi mereka, ujian semester itu ibarat sebuah game. Siapa yang cepat siap, dialah juaranya. Nilainya nanti bagaimana? walak..walakk... 

Back to Basic 
Dulu, Nilai Rapor atau Nilai Ijazah merupakan patokan untuk masuk ke  sekolah-sekolah favorit. Atau untuk terkumpul dalam sebuah kelas yang inti.  

Logikanya memang peluang kelirunya kecil, dan proses mendapatkan nilai itu bukan cuma berharap pada takdir. Ketika dulu kita menjadi siswa, ujian itu merupakan hal yang sakral. Tidak boleh riuh, tidak boleh „nyontek. Apalagi jika kedapatan melihat contekan atau  ketahuan buka buku. Seram. Perasaannya pasti nano nano.

Belum lagi jika kita diberikan soal tes berbentuk uraian (essay). Pasti akan kedapatan kertas jawaban yang gaya cakar ayam, gaya resep dokter atau gaya naik turun gunung. Guru pun lebih memilih memeriksa dengan cara membakar obat nyamuk, dari pada menyelesaikan masalah yang ruwet itu. 

Einstein pernah berkata, “Beri nilai dari usahanya. Jangan dari hasilnya. Baru kita bisa menilai kehidupan”. 

Tugas kita para guru sekarang adalah mengembalikan ruh dari nilai itu sendiri.  Dari mana nilai itu didapat? Bagaimana proses mendapatkannya? Itu yang harus kita format ulang. Lepas dari segala masalah dengan hal-hal yang mempengaruhi daya ingat anak di zaman sekarang. Seharusnya, kita juga harus punya jurus kekinian untuk melawan itu semua. 

Sudah seharusnya, kriteria ketuntasan minimal itu adalah hak dari seorang guru. Kepala sekolah tinggal terima dan jalankan saja. Dinas dan pihak terkait juga jangan sembarangan berfatwa. Ini masalah nyawa pendidikan ke depan. Bukan cuma untuk mengejar status akreditasi sekolah atau keistimewaan daerah. 

Tapi, jangan lupa! Dari tujuh garis besar dari tugas profesional seorang guru, salah satunya adalah “menilai”. Mari kita buka buku kembali ihwal menilai. Teknik apa yang kita pakai? Instrumen apa yang kita gunakan?. 

Zaman terus berubah, pendidikan pun ikut serta. Belajarlah. Kita digaji untuk itu. Ketika profil dan status di medsosmu selalu berubah. Masa ilmumu tidak? 

Harapan kita kedepan, standar pedidikan di daerah kita lebih mementingkan kualitas, bukan kuantitas. Karakter bangsa haruslah menjadi prioritas. Saat kita fokus hanya pada pengetahuan, diluar sana banyak ummat yang mencari nafkah mengandalkan keterampilannya.

Yuk, sambung lagi lagu di atas  
Oww... gila ini tak biasa,
Tertegun hatiku,
Kau menggenggam, kumenadahnya. (*)

Taufik My : Penggiat Komunitas Muda Japakeh.