Tokoh, Penokoh, dan yang Menokohi
(Cerpen oleh: Mulyadi Rusli)
Di kaki perbukitan yang sejuk dan terpencil, terletak sebuah desa bernama Suka-Suka. Nama yang terdengar seperti senda gurau, namun di dalamnya hidup orang-orang yang tidak suka main-main. Prinsip dijaga sekeras karang, dan setiap ucapan ditimbang dengan akal dan adab.
Di antara para penduduk, berdirilah seorang tua yang tak pernah merasa lebih tinggi dari siapa pun, Tu Mul. Ia bukan kepala desa, bukan ketua lembaga, bahkan bukan lulusan madrasah formal. Tapi bila ada sengketa warisan, selisih tanah, atau rencana besar yang menyangkut banyak orang, nama Tu Mul disebut pertama. Bukan karena dia ingin, tapi karena masyarakat percaya.
Tu Mul tinggal di rumah panggung kecil di pinggir sawah, ditemani suara kambing, riuh anak-anak mengaji, dan senyum para tamu yang tak pernah usai. Ia jarang berbicara banyak. Namun sekali ia berkata, suasana bisa berubah: yang marah menjadi tenang, yang bingung mendapat arah.
Suatu hari, muncul seorang pemuda bernama Moely, anak dari keluarga yang pernah merantau ke kota. Ia pulang dengan gelar sarjana dan gagasan besar. Katanya, desa Suka-Suka terlalu tertinggal. Harus ada yang mengubah. Harus ada yang memimpin.
Dalam tempo singkat, Moely membentuk Forum Pemuda Bangkit, menggelar pelatihan, membuat buletin, membuka kanal YouTube, dan menuliskan pidato-pidato tentang perubahan. Ia cepat dikenal, cepat dikagumi, dan cepat menempatkan dirinya sebagai "tokoh muda."
Namun diam-diam, warga mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ada yang janggal dari caranya memimpin. Kegiatan pemuda tak lagi soal manfaat, tapi soal pencitraan. Dana desa dikelola dengan presentasi memukau tapi hasil seadanya. Dalam rapat-rapat, Moely banyak bicara, sedikit mendengar.
"Moely itu bukan tokoh," kata Pak Bilal kepada seorang pemuda di beranda meunasah. "Dia sedang penokoh, berlagak jadi teladan, tapi cuma bungkus. Lebih bahaya lagi, dia mulai menokohi, ngajak orang lain buat ikut dalam tipuannya."
Desas-desus itu makin keras saat seorang pemuda bernama Fikri, diam-diam murid Tu Mul, mengangkat tangan dalam musyawarah dan bertanya, "Kita ini sedang membangun masyarakat, atau membangun nama seseorang?"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak dijawab. Tapi menyentuh banyak hati.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak di beranda rumah panggung, Moely datang menghadap Tu Mul. Tak membawa kamera, tak membawa proposal. Hanya membawa dirinya yang lelah.
Ia duduk diam lama. Tak tahu harus berkata apa.
Tu Mul menatapnya dengan mata yang tak pernah menghakimi. Lalu pelan berkata:
"Nak, tokoh itu bukan soal gelar atau sorotan. Tokoh itu yang kehadirannya membawa arah, bukan gaduh.
Penokoh, itu orang yang meniru jadi tokoh tapi isinya kosong, cuma kemasan.
Menokohi, itu lebih berat dosanya—memanipulasi, memoles diri, dan menggiring orang untuk percaya pada kebohongan."
Tak ada kemarahan. Tak ada vonis. Hanya nasihat yang tajam, tapi membasuh.
Sejak malam itu, Moely tak lagi muncul di forum-forum. Ia menghilang dari panggung dan muncul di ladang. Ia membantu warga menambal saluran air, menjadi guru les anak-anak, dan ikut ronda malam. Tak banyak bicara, tapi mulai banyak hadir.
Tahun berganti. Tu Mul wafat dalam usia senja yang harum. Seluruh warga menangis, bukan karena kehilangan pemimpin formal, tapi karena kehilangan penunjuk arah kehidupan.
Dalam musyawarah besar desa, nama Moely disebut. Ia menolak dengan sopan, merasa belum layak. Tapi warga bersikeras.
Mereka tahu, kali ini Moely tidak sedang menokohi. Ia telah melalui jalan panjang—dari ambisi, jatuh, merenung, hingga kembali dengan hati yang jernih.
Dan begitulah, ia akhirnya menjadi tokoh, bukan karena ia mengangkat dirinya, tapi karena masyarakat yang mengangkatnya.