Tangisan Rakyat Pidie Jaya di Tengah Kemewahan Para Wakilnya
Foto : Kantor DPRK Pidie Jaya | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di sudut-sudut desa Pidie Jaya, masih banyak anak-anak yang terpaksa menggantungkan cita-cita mereka karena keterbatasan biaya. Di rumah-rumah sederhana yang dindingnya mulai lapuk, ada orang tua yang terjaga hingga larut malam, bertanya-tanya bagaimana mereka akan menyekolahkan anak-anaknya esok hari. Di ladang-ladang yang mengering, petani berjuang dengan peluh bercucuran, berharap hasil panennya cukup untuk bertahan, meski harga jualnya tak pernah berpihak pada mereka. Di pinggir jalan, para tukang becak, pedagang kecil, dan buruh harian menatap kosong ke depan, bertanya-tanya kapan kemiskinan ini akan berakhir.
Namun, di tengah jeritan rakyat yang menanti uluran tangan, para wakil mereka di parlemen justru hidup dalam kemewahan yang sulit dijangkau oleh rakyat kebanyakan. Tunjangan fantastis yang mereka nikmati seolah menjadi tamparan keras bagi mereka yang berjuang untuk sesuap nasi. Saat harga kebutuhan pokok terus meroket dan banyak pedagang kecil gulung tikar, para anggota dewan justru menikmati fasilitas mewah yang menguras anggaran daerah tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Pidie Jaya, yang tercatat sebagai kabupaten termiskin peringkat ke-4 di Provinsi Aceh, terus bergelut dengan kemiskinan ekstrem. Tidak sedikit keluarga yang harus memilih antara makan sehari-hari atau membeli obat bagi anggota keluarganya yang sakit. Banyak anak terpaksa putus sekolah, mengubur mimpi mereka untuk kehidupan yang lebih baik. Kaum dhuafa dan orang-orang termarjinalkan seolah tidak lagi menjadi prioritas, tertinggal dalam kebijakan yang lebih mengutamakan kenyamanan para elit politik.
Ketua DPRK Pidie Jaya mendapat tunjangan sewa mobil sebesar Rp. 21 juta per bulan, sementara wakilnya mengantongi Rp. 19 juta. Tak berhenti di situ, anggaran untuk sewa rumah mereka pun mencengangkan: Rp. 10 juta untuk Ketua DPRK, Rp. 9 juta untuk wakilnya, dan Rp. 8 juta untuk anggota lainnya. Sementara rakyat harus mengais rezeki dengan keringat dan air mata, para pemimpin mereka dengan mudahnya mengalokasikan dana besar hanya untuk fasilitas pribadi.
Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat bisa menikmati kemewahan ketika rakyatnya sendiri tidur dalam kelaparan? Bagaimana bisa mereka mengendarai mobil mewah sementara jalanan desa masih penuh dengan lubang yang membahayakan nyawa? Bagaimana mereka bisa tinggal di rumah nyaman, sedangkan begitu banyak keluarga hidup dalam gubuk reyot yang nyaris roboh diterpa hujan dan angin?
Di mana hati nurani mereka? Bukankah mereka duduk di kursi kekuasaan atas nama rakyat? Bukankah seharusnya mereka menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi tangan yang menolong yang tertindas? Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan rakyat malah asyik dalam kemewahan, meninggalkan rakyat dalam keterpurukan tanpa harapan.
Tidak heran jika air mata para tukang becak dan pedagang kaki lima terus mengalir, bukan hanya karena kerasnya kehidupan, tetapi juga karena pengkhianatan yang mereka rasakan. Masyarakat Pidie Jaya kini bertanya-tanya: masih adakah keadilan bagi mereka? Masih adakah harapan bagi yang lemah di negeri ini? Ataukah kesejahteraan hanya milik mereka yang duduk di kursi empuk parlemen?
Harapan rakyat sederhana, pemimpin yang benar-benar peduli. Bukan yang berlomba hidup mewah di atas penderitaan mereka, tetapi yang rela turun ke jalan, mendengar keluh kesah, dan berjuang bersama. Sebab sejatinya, kekuasaan bukan tentang fasilitas, tetapi tentang pengabdian. Rakyat tidak butuh janji-janji manis yang diucapkan saat pemilu, mereka butuh aksi nyata. Mereka butuh keadilan, bukan kesenjangan. Mereka butuh pemimpin yang tidak hanya melihat penderitaan mereka dari balik kaca mobil mewah, tetapi yang bersedia berjalan bersama mereka, merasakan perihnya hidup dalam kemiskinan, dan mencari solusi yang benar-benar berpihak pada mereka. (**)