Sebelum Aku Pergi, Aku Siapkan Dua Buku di Meja Mama
Foto : Dok.Google Image/ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di sebuah rumah yang sunyi, meski ramai oleh penghuni, tinggal seorang anak lelaki yang lebih sering berbicara pada dirinya sendiri daripada pada orang lain. Ia tidak pendiam, hanya saja dunia di sekelilingnya terlalu bising oleh kemarahan. Maka ia memilih diam, dan mendengar lebih banyak daripada berbicara.
Ibunya adalah sosok yang dihormati oleh banyak orang. Tegar, pekerja keras, dan tampak kuat di luar. Tapi anak itu tahu, di balik ketegaran itu, ada luka yang belum sembuh, luka yang tak pernah ia ceritakan, namun ia lemparkan dalam bentuk kata-kata kasar dan tangan yang terkadang terlalu ringan kepada anak-anaknya.
Kata-kata seperti "ajxng", "bxbi", “bxdoh”, “anak pxngxt”, dan “tak bxrgunx” menjadi irama harian di rumah itu. Tak jarang, kalimat itu keluar saat anak-anak hanya membuat kesalahan kecil. Tangis mereka kadang diredam oleh rasa takut, bukan pelukan.
Sang anak lelaki itu tumbuh di antara bentakan dan tekanan. Tapi ia tak pernah tumbuh menjadi pemarah. Mungkin karena dalam diamnya, ia belajar bahwa luka tidak boleh diwariskan. Bahwa amarah tidak akan menyembuhkan apa pun, hanya menyebarkan luka ke hati lain yang belum mengerti.
Ia tak tahu banyak tentang masa lalu ibunya, hanya potongan-potongan cerita yang terlepas saat ibunya marah. Tentang pernikahan yang dipaksakan, tentang kehilangan, tentang ayah yang pergi, dan tentang kekecewaan yang terus tumbuh. Ia mengerti bahwa ibunya tidak jahat, hanya terlalu lama hidup dalam gelap, hingga lupa bagaimana caranya menyayangi.
Namun memahami tidak berarti membenarkan. Anak itu tahu, tetap salah jika kekerasan dibenarkan oleh luka masa lalu. Maka ia tidak melawan, tidak juga membenci. Ia hanya mencoba bertahan, dan perlahan mencari jalan untuk menyembuhkan, jika bukan untuk ibunya, setidaknya untuk dirinya sendiri.
Suatu hari, ia membawa pulang dua buah buku. Ia tidak mengatakan banyak hal, hanya meletakkannya di meja makan sambil berkata, “Buku ini bagus, Ma. Aku bawa buat Mama.” Salah satunya berjudul Cara Berkomunikasi dengan Baik. Satunya lagi tentang membangun bisnis dengan sehat dan jujur.
Ibunya tidak berkata apa-apa. Hanya menoleh sejenak, lalu kembali pada kesibukannya. Tapi anak itu tidak kecewa. Ia tahu, perubahan tak datang secepat angin. Kadang, cinta hanya perlu diletakkan, tanpa berharap segera dibalas.
Malam itu, ia menuliskan satu kalimat di buku hariannya: “Hari ini aku mencoba. Mungkin Mama belum siap menerima, tapi aku tetap sayang.” Dan ia tertidur dengan dada yang sedikit lebih ringan.
Hari-hari berikutnya tetap berat. Ibunya masih marah, kadang karena hal-hal kecil. Anak-anak kecil masih sering menangis karena dipukul dan dimaki . Tapi kini, anak lelaki itu punya pegangan, harapan yang ia tulis sendiri.
Ia belajar dengan sungguh-sungguh, ikut program sekolah alternatif agar tetap bisa menamatkan pendidikan. Ia mulai bekerja paruh waktu, menabung diam-diam. Bukan untuk kabur, tapi untuk siap-siap bila suatu hari ia harus berdiri sendiri dan membuktikan bahwa luka bukan alasan untuk menyakiti siapa pun.
Ia tidak pernah mengungkit kekerasan yang diterimanya. Tidak juga menceritakan semua keluh kesahnya pada orang lain. Tapi dalam diamnya, ia terus menuliskan mimpi-mimpinya, dia ingin jadi orang yang bisa menyembuhkan, bukan melukai.
Di sekolah, ia dikenal sebagai anak sopan dan rajin. Tak seorang pun menyangka bahwa setiap pagi ia bangun dengan hati yang cemas, bertanya-tanya apakah hari ini akan ada kemarahan lagi. Tapi ia tetap tersenyum, karena ia tahu dunia di luar rumah masih bisa menerima senyum tulus tanpa pertanyaan.
Waktu berlalu. Beberapa anak-anak kecil di rumah itu mulai tumbuh, meniru ucapannya, meniru kesantunannya. Walau pelan, anak itu tahu, kebaikan, jika ditanam dalam diam, tetap bisa tumbuh diam-diam pula.
Suatu hari, ia membuka kembali dua buku yang ia berikan pada ibunya dulu. Masih rapi, belum terbuka. Ia mengelus sampulnya dengan lembut, lalu menatanya kembali di rak. Mungkin belum saatnya. Tapi harapan itu tidak ia buang.
Ia tahu, cinta tidak selalu datang dalam bentuk pelukan. Kadang, cinta adalah keberanian untuk tidak membalas. Kadang, cinta adalah tetap bertahan, tanpa menyakiti diri sendiri.
Dan pada akhirnya, ia menuliskan satu catatan kecil di dinding kamarnya:
“Aku tidak ingin menjadi seperti yang melukai. Aku ingin menjadi seperti yang menyembuhkan.” (Edwar)