16 November 2025
Opini

Rakyat Pidie Jaya Gerah, Bupati Lagei Es Kosong, Wakil Panas Membara

Foto : Miswar,SE | LIPUTAN GAMPONG NEWS

Oleh: Miswar - Masyarakat Pidie Jaya

OPINI - Sudah delapan bulan sejak pasangan Sibral Malasyi dan Hasan Basri dilantik oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pidie Jaya, tepatnya pada 18 Februari 2025 lalu. Waktu delapan bulan bukanlah sebentar untuk menunjukkan arah pembangunan dan visi perubahan. Namun, yang muncul justru tanda tanya, ke mana sebenarnya kapal Pidie Jaya ini berlayar? 

Bupati Sibral tampak tenang, terlalu tenang bahkan. Di kalangan masyarakat, gaya kepemimpinannya dijuluki “Lupie Lagei Es Kosong”: dingin, tenang, diam, dan terasa tawar. Ia memang bukan tipe pemimpin yang suka gaduh atau berkonflik. Tapi dalam dunia politik, terlalu banyak diam sama berisikonya dengan terlalu banyak bicara tanpa arah. Rakyat ingin kehangatan, bukan keheningan. Mereka ingin tindakan nyata, bukan deretan foto seremoni yang tiap hari beredar di akun resmi Humas Pemkab. 

Yang ironis, aktivitas bupati nyaris identik dengan rutinitas  menandatangani surat, menghadiri rapat protokoler, lalu muncul dalam acara seremonial. Hampir tiap hari ada rapat koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Namun hasilnya? Di lapangan, petani masih kesulitan pupuk, nelayan kekurangan solar, dan sektor pariwisata tetap stagnan. Kata pejabat, “anggaran defisit dan perlu efisiensi.” Kata rakyat, “yang defisit itu semangat, bukan uang.” 

Menjadi pemimpin bukan sekadar menunggu dana pusat turun. Pemimpin sejati ditunggu ide dan solusinya, bukan alasan klasik transfer belum cair. Banyak daerah lain dengan PAD kecil justru bisa berinovasi karena kepala daerahnya berani bergerak. “Kalau semua disalahkan ke defisit, lebih baik rakyat saja yang memimpin. Kami juga defisit tiap bulan, tapi tetap bekerja,” kata  seorang pedagang kaki lima di Meureudu, menertawakan keadaan dengan getir. 

Di sisi lain, wakil bupati Hasan Basri tampil dengan karakter kontras: keras, vokal, dan cepat bereaksi, panas menyala, tapi kadang salah arah. Pernah suatu kali, ia meledak di ruang Sekdakab menuding adanya PPPK paruh waktu siluman, tenaga kontrak fiktif yang tak pernah hadir tapi tetap bergaji. Isu itu sempat menghebohkan pemerintahan, namun akhirnya padam tanpa hasil. Sekda dengan BKPSDM menutup kasus dengan kesimpulan: “semua sesuai usulan dinas.” Padahal, di balik kabut itu mungkin tersimpan peluang emas untuk membenahi sistem birokrasi yang lama terbelit kepentingan. 

Beberapa kabid bahkan mengaku tak mengenal nama-nama yang diusulkan kepala dinas mereka. Fenomena ini seharusnya jadi pintu audit internal, bukan ditutup dengan dalih administrasi sesuai prosedur. Seorang aktivis sosial pernah berkata, “Kalau semua dibilang sesuai, berarti yang tak sesuai justru logikanya.” Namun, di mata rakyat kecil, Hasan Basri tetap punya tempat tersendiri. Ia sering turun ke lapangan, tak segan menegur pejabat, dan hadir di tengah masyarakat. Hanya saja, panasnya kadang membakar sekat yang seharusnya jadi jembatan politik. 

Duet Sibral–Hasan kini seperti dua kompor dengan suhu berbeda: satu terlalu dingin, satu terlalu panas membara, sementara nasi di dapur pemerintahan tetap tak matang. Birokrasi di bawah mereka ikut bingung. “Kadang bupati bilang begini, wakil bilang begitu. Kami diam saja, yang penting aman,” kata seorang pejabat setengah berbisik. Budaya diam ini menjelma jadi penyakit baru. Program pemerintah tak berjalan maksimal, dan rakyat hanya disuguhi kalimat klise: “anggaran defisit.” 

Padahal, Pidie Jaya bukan daerah yang miskin potensi. Dari sektor pertanian hingga wisata, dari laut hingga dataran tinggi, semua punya peluang untuk digarap. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian politik dan kreativitas kepemimpinan. Tapi yang tampak justru kehati-hatian berlebihan. Pemerintahan seperti ini ibarat kapal yang takut berlayar karena ombak, padahal lautlah tempat kapal diuji. 

Dalam obrolan warung kopi, muncul ungkapan yang kini viral di kalangan rakyat kecil: “Pidie Jaya bukan kekurangan dana, tapi kekurangan nyali.” Nyali untuk menegur, memutuskan, dan berinovasi. Masyarakat sudah jenuh dengan kalimat “masih dikaji” atau “menunggu pusat.” Mereka ingin pemimpin yang tak hanya muncul di acara seremoni, tapi hadir saat rakyat susah. Mereka ingin pejabat yang berani bertarung demi perubahan, bukan sekadar membacakan visi tanpa aksi. 

Kini publik menunggu, akankah duet Sibral–Hasan menemukan keseimbangan antara dingin dan panas itu? Atau justru terus berjalan dalam dua arah yang saling meniadakan? Sebab jika tidak, sejarah tak akan mencatat mereka sebagai pemimpin yang gagal, melainkan sebagai duet yang tak pernah benar-benar memulai. Dan di setiap warung kopi di Meureudu, tawa getir rakyat sering ditutup dengan kalimat yang makin sering terdengar.

“Es kosong enak diminum, tapi kalau pemimpin ikut dingin, yang beku bukan cuma gelas, tapi masa depan Pidie Jaya.” 

Namun, masih ada waktu untuk membalik keadaan. Sibral dan Hasan perlu meninggalkan ego dan menyatukan energi politik mereka dalam satu arah: keberpihakan nyata kepada rakyat. Bupati harus mulai membuka ruang dialog terbuka dengan masyarakat dan pelaku ekonomi lokal, sementara wakil bupati perlu menyalurkan energinya ke aksi konkrit berbasis kebijakan, bukan sekadar kritik spontan. Bila keduanya bersinergi, membangun dengan pendekatan kolaboratif, dan menjadikan transparansi serta keberanian sebagai fondasi, maka Pidie Jaya masih bisa bangkit, bukan karena dana pusat, tapi karena tekad yang pusatnya ada di hati pemimpinnya sendiri.