Politik Representasi dan Panggung Persepsi: Membaca Komunikasi Politik dalam Era Demokrasi Digital
Oleh: Teuku Muhammad Reza, SE - Alumnus Fakultas Ekonomi Unsyiah & Pelaku Politik Praktis
OPINI - Dalam sistem demokrasi, politik semestinya menjadi arena adu gagasan dan solusi atas persoalan rakyat. Namun dalam praktiknya, panggung politik kerap berubah menjadi ajang pertunjukan persepsi, di mana kemenangan lebih ditentukan oleh citra dibanding substansi. Fenomena ini menandai bergesernya politik dari ruang etika menuju panggung estetika.
Untuk memahami dinamika ini, kita perlu membaca ulang komunikasi politik kontemporer melalui lensa teori politik, strategi, serta pertumbuhan teori konspirasi yang berkembang sebagai respon atas krisis kepercayaan publik.
Komunikasi Politik: Dari Gagasan ke Gimik
Dalam model komunikasi politik klasik (Lasswell, 1948), struktur pertanyaan sederhana siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan efek apa cukup menjelaskan bagaimana pesan politik disampaikan. Namun di era digital, pertarungan tidak lagi sebatas isi pesan, tapi dominasi atas persepsi publik.
Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulakra, di mana realitas digantikan oleh representasi atau bahkan manipulasi. Dalam konteks politik, seorang pemimpin bisa mendapat tempat bukan karena keberhasilan membangun, melainkan karena berhasil menciptakan narasi keberhasilan. Masyarakat pun lebih akrab dengan simbol daripada substansi.
Gun Gun Heryanto (2023) dalam Panggung Komunikasi Politik menggambarkan bagaimana politisi modern lebih menyiapkan "narasi" daripada "kerja", lebih memilih "drama" ketimbang "data".
Realitas Politik dan Strategi Kekuasaan
Hans Morgenthau, dalam realismenya, menyatakan bahwa politik adalah soal mempertahankan kekuasaan. Maka strategi komunikasi menjadi alat utama untuk menjaga legitimasi, baik melalui penguasaan media, framing isu, atau bahkan membelokkan fakta.
Strategi-strategi ini sering menggunakan teori komunikasi massa seperti agenda setting dan framing, di mana media dijadikan alat untuk mengatur prioritas perhatian publik. Bukan lagi tentang “apa yang benar”, tapi “apa yang tampak benar”.
Di balik layar, para aktor politik menyusun narasi seperti layaknya sebuah kampanye produk: ada target pasar, ada kemasan, ada slogan, dan tentu ada iklan. Tak heran jika pemilu sering terasa seperti kontes popularitas, bukan kompetisi ideologis.
Krisis Kepercayaan dan Tumbuhnya Teori Konspirasi
Ketika publik merasa kecewa dengan narasi resmi, muncul kekosongan epistemik. Di sinilah teori konspirasi tumbuh subur. Menurut Michael Barkun, teori konspirasi menjamur saat publik tidak tahu lagi siapa yang harus dipercaya media, pemerintah, atau akademisi?
Sebagian masyarakat mulai percaya bahwa segala sesuatu telah diskenariokan: kebijakan diatur elite global, bencana digunakan untuk manipulasi politik, bahkan teknologi informasi jadi alat kendali kesadaran massal. Meski belum tentu terbukti, teori konspirasi menyuarakan keresahan dan luka batin publik yang merasa terkhianati.
Antara Akal Sehat dan Etika Politik
Politik memang bukan sekadar soal idealisme, tetapi juga realitas. Namun tanpa etika, realitas bisa berubah menjadi manipulasi. Di sinilah pentingnya menjaga akal sehat publik. Demokrasi bukan hanya tentang hak memilih, tetapi juga kemampuan berpikir kritis terhadap siapa dan apa yang dipilih.
Habermas menawarkan gagasan ruang publik deliberatif, di mana keputusan politik dibentuk melalui dialog rasional. Tapi saat ini, ruang itu telah digantikan oleh algoritma media sosial, yang lebih menyukai konten viral ketimbang wacana bernas.
Pendidikan politik di kampus harus mampu membekali generasi muda dengan daya analisis, bukan sekadar retorika. Mahasiswa, akademisi, dan intelektual harus menjadi agen pencerahan melawan banalitas politik dengan kedalaman berpikir.
Politik Bukan Sekadar Panggung
Jika politik terus direduksi menjadi pertunjukan, maka rakyat hanya akan menjadi penonton yang dibuai ilusi. Kita butuh transformasi komunikasi politik bukan hanya agar lebih jujur, tetapi agar lebih bermakna.
Sebagaimana dikatakan George Orwell: “Dalam masa penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Dan tugas menyuarakan kebenaran, hari ini, bukan hanya milik aktivis. Ia adalah tanggung jawab kita semua terutama mereka yang mengerti dan peduli.
Tentang Penulis:
Teuku Muhammad Reza, SE adalah alumnus Fakultas Ekonomi dan pelaku politik praktis. Ia aktif mengamati komunikasi politik dan perkembangan demokrasi lokal, serta percaya bahwa etika dan kesadaran publik adalah fondasi utama demokrasi sejati.