Ngopi di Ujung Perjuangan: Cerita Masa Lalu Para Aktivis Sosial
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Dulu, mereka bukan sekadar pemuda kampung biasa. Di balik baju sederhana dan tawa lepas yang tampak di warung kopi pinggir jalan itu, tersimpan kisah masa lalu yang penuh idealisme dan semangat membara.
Mereka adalah para aktivis sosial. Pemuda-pemuda yang pernah mengguncang forum-forum desa, memimpin aksi bersih lingkungan, menggagas koperasi tani, hingga menginisiasi gerakan pendidikan untuk anak-anak pinggiran. Mereka tidak punya pangkat, tidak pula digaji. Hanya rasa tanggung jawab terhadap tanah kelahiran yang membuat mereka bergerak.
Di masa lalu, mereka menantang birokrasi demi transparansi dana desa, mengawal bantuan sosial agar tidak bocor, bahkan rela naik motor ke pelosok untuk membagikan buku dan sembako. Sebagian dari mereka pernah dibungkam, pernah dicurigai, bahkan dianggap "pengacau". Tapi mereka tetap berjalan.
Hari ini, mereka kembali berkumpul. Bukan dalam rapat organisasi atau panggung orasi, melainkan dalam lingkaran santai, ditemani kopi hitam dan kenangan. Di antara canda dan gurauan, sesekali muncul kalimat, “Masih ingat waktu kita demo ke kantor camat?” atau “Waktu kita bantu warga buat sumur bor di dusun seberang?” Semua tertawa. Tapi di balik itu, ada getar bangga dan rindu yang tak terucap.
Beberapa dari mereka kini sudah berkeluarga, bekerja di tempat yang berbeda. Ada yang tetap berjuang di jalur sosial, ada yang memilih jalur sunyi. Tapi ketika mereka duduk bersama, semangat lama itu kembali menyala—meski hanya dalam percakapan ringan.
Warung kopi itu menjadi ruang nostalgia. Di sanalah mereka menyadari bahwa perjuangan tidak selalu soal megafon dan spanduk. Kadang, cukup dengan menjaga silaturahmi dan menyulut kembali api kepedulian yang pernah menyala.
Karena sejatinya, jiwa aktivis tak pernah benar-benar pensiun. Ia hanya istirahat sebentar, menunggu waktu yang tepat untuk kembali bergerak. (F)