28 September 2025
Opini

Mr. Clean, Warisan Kesederhanaan Menteri Keuangan Marie Muhammad

Foto : Dok. Google Images, Dr. Mar'ie Muhammad, M,Si | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Di tengah derasnya arus zaman yang sering mengaburkan batas antara kepentingan pribadi dan kepentingan bangsa, nama Mar’ie Muhammad selalu muncul sebagai oase kejujuran. Mantan Menteri Keuangan era Orde Baru ini bukan hanya dikenal karena kecerdasannya mengelola perekonomian negara, tetapi juga karena keteguhannya menolak suap, gratifikasi, dan segala bentuk korupsi. Julukan “Mr. Clean” yang melekat padanya bukanlah gelar kosong, melainkan hasil dari sikap hidup yang teruji dalam kesederhanaan.

Seorang pejabat negara dengan kekuasaan besar biasanya identik dengan fasilitas mewah dan gaya hidup gemerlap. Namun Mar’ie Muhammad justru memilih sebaliknya. Ketika memegang kendali keuangan negara yang triliunan rupiah jumlahnya, ia kadang hanya membawa Rp20 ribu di dompetnya, uang yang kerap ia sisihkan untuk celengan amal. Kejujuran dan sikap rendah hati itu bukan pencitraan, melainkan buah dari ajaran yang ia terima sejak kecil dari sang ayah.

Di rumah sederhana, selepas salat Magrib, ayah Mar’ie mengajak sembilan anaknya duduk melingkar untuk mengaji. Setelahnya, sang ayah menekankan satu pesan abadi: mencari rezeki harus dengan jalan halal, jangan pernah menipu orang lain. Pesan ini tertanam kuat di benak Mar’ie, hingga menjadi pondasi moral yang menuntunnya ketika dia duduk di kursi menteri. Nilai-nilai itu membentuk karakter seorang pejabat yang tidak pernah tergoda gemerlap kekuasaan.

Kisah kecil tentang bagaimana ia memperlakukan hadiah parcel menyingkap wajah lain dari integritasnya. Ketika menerima bingkisan, ia tak segan membongkarnya satu per satu. Jika berisi barang mewah seperti jam tangan, televisi, atau perhiasan, ia kembalikan tanpa ragu. Yang ia ambil hanya makanan atau minuman, itu pun bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan dibagikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan ladang mencari keuntungan pribadi.

Sikap “cuek” kepada wartawan hingga ia dijuluki “Mr. Cuek” justru memperlihatkan konsistensinya menjaga jarak dari hiruk pikuk popularitas. Ia tidak mencari sorotan kamera, tidak haus pujian, bahkan kerap menghindari wawancara panjang. Fokusnya hanya satu: bekerja demi bangsa dengan sebersih mungkin, tanpa perlu tepuk tangan penonton.

Ironisnya, ketika pensiun, ia tidak meninggalkan harta melimpah. Mobil butut satu-satunya pun ia jual untuk membiayai perjuangan anti korupsi. Padahal, di masa itu, banyak pejabat lain yang setelah pensiun justru hidup bergelimang harta dari jalan tak wajar. Dari sini, jelas terlihat betapa Mar’ie benar-benar menjalani hidup dengan ketulusan, bukan sekadar narasi moral.

Kepergiannya pada 11 Desember 2016 meninggalkan duka, namun juga meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga daripada kekayaan: teladan kejujuran. Ia membuktikan bahwa integritas bukanlah utopia. Dalam ruang-ruang birokrasi yang penuh jebakan, masih ada sosok yang berdiri tegak menjaga nurani. Ia menjadi bukti nyata bahwa jabatan tinggi tidak harus membuat seseorang kehilangan kesederhanaannya.

Di era sekarang, ketika praktik korupsi masih menghantui, nama Mar’ie Muhammad seolah menjadi cermin yang menohok. Kita seakan ditampar untuk melihat perbandingan: seorang menteri dulu yang rela hidup sederhana demi kehormatan, dengan pejabat masa kini yang masih banyak tersandung kasus suap dan gratifikasi. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa keteladanan itu semakin langka?

Mar’ie Muhammad bukan sekadar pejabat, ia adalah simbol moralitas yang hidup. Ia mengajarkan bahwa bangsa ini tidak hanya butuh pemimpin yang cerdas, tetapi juga yang bersih dan berani melawan arus. Ia membuktikan bahwa kekuasaan bisa dijalankan tanpa kerakusan, dan jabatan bisa diemban tanpa memperdagangkan integritas.

Warisan “Mr. Clean” ini seharusnya bukan hanya dikenang, tapi diteladani. Di tengah keprihatinan bangsa yang terus berjuang melawan korupsi, kisah hidup Mar’ie Muhammad adalah pengingat bahwa perubahan dimulai dari keberanian satu orang untuk tetap jujur. Dan andai setiap pejabat menaruh Rp20 ribu di dompetnya bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain, barangkali Indonesia sudah jauh lebih sejahtera dari hari ini. (TS)