Komisioner Baitul Mal Pidie Jaya Harus Bersih: Jangan Jadikan Kursi Baitul Mal Sebagai Baitul Politik
OPINI - Seleksi komisioner Baitul Mal Kabupaten (BMK) Pidie Jaya kini memasuki tahap krusial, penyaringan 23 nama menjadi hanya lima kursi strategis. Proses ini seharusnya menjadi ajang penyaringan integritas, bukan "saringan koneksi".
Jangan sampai yang duduk nanti adalah mereka yang pandai bermain dalam senyap, bukan yang tulus bekerja untuk umat. Publik menaruh harapan besar bahwa wajah-wajah terpilih kelak bukanlah aktor politik bermuka dua, tetapi pejuang keumatan yang jujur dan tangguh menjaga marwah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Jabatan ini bukan tempat pelarian bagi mereka yang gagal di arena politik. Baitul Mal adalah institusi suci yang mengurusi harta umat, bukan panggung hiburan bagi mereka yang kehilangan panggung politik. Fakta bahwa ada sejumlah calon dengan jejak kedekatan politik membuat proses seleksi ini mulai terlihat keruh.
Ada akademisi, ada juga mantan penyelenggara pemilu, ada yang pengurus partai tiba - tiba undur diri saat pencalonan, bahkan ada yang santer dikaitkan dengan pasangan calon tertentu di Pilkada. Kalau benar begitu, maka bukan Baitul Mal namanya, melainkan “Baitul Politik”.
Yang lebih mencemaskan adalah narasi lama yang terus berulang, seleksi terbuka di atas kertas, namun tertutup dalam praktik. Semua tahu, aroma “ORDAL” alias orang dalam, masih tercium dari balik pintu-pintu rapat seleksi.
Masyarakat Pidie Jaya tentu tak ingin lembaga yang seharusnya bersih justru menjadi tempat parkir kekuasaan. Jika ini dibiarkan, maka hancurlah kepercayaan yang sudah susah payah dibangun. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun program yang dijalankan hanya akan jadi formalitas belaka.
Dalam konteks ini, panitia seleksi punya tanggung jawab moral yang besar. Mereka bukan hanya memilah nama, tapi ikut menentukan arah masa depan pengelolaan dana umat. Apakah mereka berani menolak calon yang punya rekam jejak politis?
Apakah mereka cukup tegas untuk bilang “MAAF", anda tidak layak karena anda belum bersih”? Jika jawabannya ragu-ragu, maka proses ini tinggal menunggu waktu untuk menjadi sandiwara dengan ending menyedihkan.
Baitul Mal tidak boleh menjadi korban kompromi politik. Kita butuh lebih dari sekadar orang cerdas. Kita butuh orang jujur, yang mampu berdiri di tengah pusaran kepentingan tanpa goyah. Zakat bukan proyek. Ini bukan dana APBK yang bisa dimainkan seenaknya. Ini adalah amanah dari para muzakki yang percaya bahwa hak fakir miskin akan sampai dengan selamat.
Bila kursi komisioner dijadikan batu loncatan politik, maka sesungguhnya yang sedang dijual bukan hanya jabatan, tetapi juga martabat umat. Sudah saatnya masyarakat sipil, ulama, dan tokoh-tokoh independen turun tangan memantau proses seleksi ini.
Jangan hanya percaya pada daftar nilai dan presentasi. Kita harus bertanya lebih dalam: siapa mereka? Apa rekam jejaknya? Pernahkah mereka menunjukkan kepedulian sosial sebelum ini? Atau jangan-jangan baru muncul ke permukaan saat musim jabatan datang? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menyaring yang tulus dari yang oportunis.
Tak kalah penting, pemerintah daerah juga harus menunjukkan sikap netral. Jangan sekali-kali menggiring hasil seleksi demi menampung titipan kekuasaan. Keberpihakan terhadap calon tertentu akan menjadi noda yang sulit dihapus dari ingatan publik.
Apalagi jika itu dibarengi dengan intervensi terselubung atau tekanan kepada panitia seleksi. Dalam situasi ini, diamnya pemerintah bisa dibaca sebagai pembiaran, dan pembiaran adalah bentuk lain dari keterlibatan.
Jika komisioner Baitul Mal ke depan diisi oleh orang-orang berintegritas rendah, maka bukan hanya soal penyalahgunaan dana umat yang kita hadapi, tapi juga potensi kemerosotan moral publik. Masyarakat akan menilai: ternyata jabatan apapun bisa dibeli dengan modal partai dan koneksi. Maka rusaklah edukasi sosial tentang pentingnya kejujuran, amanah, dan keikhlasan dalam mengabdi.
Kita tidak butuh komisioner yang jago berdalih atau bersilat lidah. Kita butuh pelayan umat yang sederhana, yang tahu bahwa setiap rupiah zakat yang mereka kelola adalah hak fakir miskin, hak anak yatim, hak para janda yang kesulitan menyambung hidup. Mereka yang duduk di kursi itu harus tahu bahwa setiap kelalaian akan ditagih, jika bukan oleh hukum negara, maka oleh keadilan langit.
Baitul Mal adalah amanah. Dan seperti semua amanah, ia tidak boleh jatuh ke tangan yang salah. Jika masyarakat Pidie Jaya lengah hari ini, maka mereka akan membayar mahal dalam lima tahun ke depan. Jangan sampai kita semua hanya menjadi penonton dari pertunjukan yang tak lucu ini. Sudah cukup umat ditipu, sudah waktunya suara bersih lebih lantang dari bisikan politik. (**)
Oleh : Teuku Saifullah (Warga Pidie Jaya, Aceh)