Kerancuan Wakaf Politik
Oleh: Edi Miswar Mustafa
OPINI - Janji seseorang, bahkan dengan menggunakan kata-kata eksotis dalam agama seumpama wakaf, qurban, dan lainnya akan terasa sangat syahdu. Konon lagi, ketika kata-kata itu diucapkan pada saat suhu politik, kontraksi sosial masyarakat, berada dalam titik didih 'kami' atau 'kalian' yang penuh dalam semangat chauvinistis.
Dan ternyata rakyat, apalagi rakyat yang mendukung kandidat yang menang dalam pesta politik, merasa nelangsa setelah jagoaannya duduk di kursi indah kekuasaan. Janji tinggal janji, nyanyi seorang biduan dangdut era Rhoma Irama. Antara harapan dan kenyataan ibarat bansos yang tidak tepat sasaran.
Namun, ayolah, mari melihat sisi lain. Barangkali dugaan-dugaan itu beralamat palsu. Barangkali jebakan birokrasi telah menciptakan sesuatu yang rumit untuk seorang bupati. Birokrasi membuatnya berpikir bahwa ternyata semua itu jauh lebih rumit ketimbang mengelola ladang migas milik pribadi.
Tentu di sekeliling Bupati banyak pesohor politik sekaligus penasehat terpercaya yang membisikkan bahwa dia dan dia layak dan tidak layak menjabat posisi tertentu. Tapi, sebelumnya, seharusnya, penasehat itu harus dicermati, baik bobot, bebet, dan bibit. Apakah indikasinya hanya menikmati kemenangan? Kalau iya, penasehat ini bukan untuk menolong bupati, tapi menolong dirinya sendiri.
Mungkin catatan kecil ini tidak untuk merinci bagaimana seharusnya penasehat yang baik. Apalagi di gedung yang lain, yang dihuni wakil rakyat dan pers dari tim oposisi yang siap berkicau nyaring, menyuarakan bahwa ini dan itu tidak benar. Di sinilah seorang Bupati harus menimbang. Apakah dia, sang penasehat, kreatif? Artinya, ia tidak hanya menikmati pesta kemenangan yang susah payah direbut pada beberapa bulan lain. Tapi, yang paling penting, dia juga menggagas sejumlah gagasan yang berguna untuk daerah.
"Andai lapangan itu menjadi alun-alun," kata seseorang. Yang lain mengangguk. Di situ ada jalur untuk jogging. Para pedagang tidak dilarang berdagang, tapi pakai gerobak saja. Boleh-boleh saja sampai larut malam. Pagi, anak-anak sekolah yang menuju sekolahnya, dapat melihat betapa asrinya ibukota.
Gagasan ini mungkin terdengar aneh bagi penasehat yang menurut perhitungannya tak bakal kecipratan banyak rezeki. Tapi itulah penanda. Suatu indikator bahwa perubahan terkadang harus menggelengkan mereka yang hanya mengambil untung dari sebuah kemenangan.
"Masa kepala sekolah diatur orang-orang yang tidak mengerti tentang pendidikan," sergah yang lainnya di sebuah meja. "Kok kepala dinas tidak linier dengan pendidikan formalnya?" Lalu narasi nasional tentang ijazah palsu pun mencuat. Analisis ala warung kopi pun bergemuruh dengan argumen tengil nan dekil.
Sementara itu, di tengah derasnya ambisi para penasehat, bupati dihadapkan pada sejumlah seremonial yang menguras tenaga dan perasaan. Bupati dihadapkan pada kata, uraian, dan tanggapan yang bisa-bisanya dapat membuat malu sejarah. Dan, ini pantang terjadi. Sudah cukup periode yang lalu menuai malu.
Meskipun demikian catatan prioritas itu harus ditulis, didiskusikan, termasuk posisi strategis yang menjadi jembatan penghubung antara kabupaten dan provinsi. Buang jauh-jauh kata-kata penuh dengki seperti rezim lama, orang si A, si B, dan sebagainya. Masa lalu untuk ditinjau dan diperbaiki. Bukan untuk dipendam dan kalau bertemu, ibarat seorang suami bertemu mantan yang pernah berkata padanya, "Kita putus. Titik."
Nada kata 'titik' pada akhirnya tak pernah hilang dalam ingatannya. Nada kata 'titik' kemudian mengharu-biru dalam sikap, perkataan, dan diamnya seorang pemimpin. Ini konyol. Padahal, opini publik, apalagi ditulis oleh orang-orang yang berdiri di belakangnya sejak awal pencalonan, dengan ritme pilu, harusnya menjadi bahan renungan penuh rindu. Mereka percaya padannya, sehingga kata-kata itulah yang terbit dari lubuk hati paling dalam.
Tentu mewakafkan diri tidak hanya jualan politik. Semua yang pernah di belakangnya percaya itu. Tentu kalimat yang baik, tidak mudah untuk diwujudkan dalam bentuk lahiriah. Semua yang pernah di belakangnya percaya itu. Oleh karenanya, dugaan-dugaan yang membingungkan tidak perlu ada dalam memori seorang pemimpin. Pemimpin harus berbicara dengan hati dan bertindak dengan hati. Menjinakkan dilema, apalagi di ujung dari sebuah persoalan berdiri seorang penasehat tua, dalam kasus apa pun, dalam persoalan mana saja, seorang pemimpin harus berkata dan bertindak tegas. Dan, ia harus sadar, seorang pemimpin tidak sama dengan pedagang yang khawatir pelanggannya pindah ke warung kopi lainnya hanya karena ia telah berkata dengan teguh lewat akuisisi hatinya. (*)
Edi Miswar Mustafa: Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe), Pidie Jaya. Pegiat Komunitas Muda Japakeh.