Dunia Tepuk Tangan Saat Kita Naik, Tapi Allah Peluk Kita Saat Kita Jatuh
OPINI - Dalam kehidupan yang semakin terobsesi pada citra dan pencapaian, kita sering lupa bahwa nilai sejati manusia tidak terletak pada pujian publik. Dunia ini bersorak saat kita menang. Saat kita berdiri gagah di atas panggung kesuksesan, banyak tangan yang terulur untuk menjabat, banyak mulut yang memuji, dan banyak mata yang memandang dengan kagum. Namun, begitu kita terjatuh, sorak itu lenyap, tangan-tangan menghilang, dan mata-mata itu pun berpaling.
Fenomena sosial ini memperlihatkan bahwa cinta dunia bersifat syarat. Kita dihargai sejauh kita memberi keuntungan, dipuji selama kita bisa tampil kuat. Ketika kita lelah, gagal, atau bahkan hancur, hanya sedikit yang tetap tinggal. Dunia menyukai cerita pahlawan, tapi enggan mendengar kisah mereka yang terluka. Dan dalam kesunyian itulah, banyak jiwa merasa sepi, bahkan kehilangan arah.
Namun ada satu cinta yang tak pernah menunggu kita sempurna yaitu cinta Allah SWT. Saat tak seorang pun paham betapa berat beban yang kita pikul, Allah Maha Mengetahui. Saat lidah kelu untuk bercerita, Allah mendengar bahkan yang tak terucap. Pelukan Allah bukan fisik, tapi berupa ketenangan yang menyusup perlahan ke hati yang hancur, ke jiwa yang gemetar, dan ke pikiran yang hampir menyerah.
Itulah sebabnya, momen jatuh dalam hidup bukan hanya ujian, tapi undangan. Undangan untuk mendekat, untuk bersandar, untuk pulang ke pelukan yang tak pernah menolak. Allah tidak melihat nilai kita dari jumlah pencapaian, tapi dari kesungguhan untuk bangkit kembali meski berkali-kali jatuh. Ia tidak memandang rupa, tapi memandang hati. Dan saat hati itu rapuh, justru di situlah rahmat-Nya mengalir deras.
Realitas ini sangat relevan di tengah masyarakat yang makin tertekan oleh standar kesempurnaan. Media sosial, lingkungan kerja, bahkan keluarga kadang secara tak sadar menuntut kita selalu kuat. Padahal menjadi manusia berarti memiliki ruang untuk gagal. Dan tak seharusnya kegagalan membuat seseorang kehilangan rasa berharga di mata sendiri, apalagi di mata Allah.
Sebagai manusia, kita punya tanggung jawab moral untuk mengingatkan, tidak semua nilai diukur dengan angka, pangkat, atau popularitas. Kita harus menghadirkan narasi yang menenangkan, yang merangkul mereka yang sedang di titik nadir. Menulis dan menyiarkan kisah bahwa pelukan Allah lebih berarti dari segala pujian dunia bukan sekadar penghiburan, tapi penguatan spiritual yang dibutuhkan oleh banyak jiwa yang terluka diam-diam.
Saat dunia membangun panggung, Allah membangun tempat pulang. Saat manusia sibuk menepuk tangan untuk mereka yang bersinar, Allah membuka pintu-Nya untuk mereka yang remuk. Tak ada malu dalam jatuh, jika kejatuhan itu membuat kita bersujud lebih lama, lebih dalam. Karena mungkin justru dari titik rendah itulah, kita mulai mengenal makna cinta yang paling sejati.
Maka jangan khawatir saat dunia tak lagi menyorot kita. Jangan kecewa saat tepuk tangan berhenti. Karena di balik keheningan itu, ada pelukan Allah yang lembut namun kuat, hangat namun sunyi. Dan sering kali, justru dari pelukan itulah kita bangkit, bukan untuk kembali mengejar tepuk tangan dunia, tapi untuk hidup dengan makna yang lebih dalam, lebih utuh, dan lebih dekat dengan-Nya. (TS)