16 November 2025
Opini

Pahlawan Masa Kini: Santri dan Ulama sebagai Penjaga Nilai di Era 5.0

Oleh: Dr. Tgk. Mahdir Muhammad, S.Hi, MA

OPINI - Hari Pahlawan Nasional bukan sekadar momen untuk mengenang jasa mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga waktu untuk merefleksikan kembali makna kepahlawanan dalam konteks zaman modern. Di tengah derasnya arus perubahan digital dan tantangan era disrupsi 5.0, sosok pahlawan tidak selalu hadir dengan senjata di tangan. Ia bisa jadi seorang santri yang tekun menimba ilmu, atau ulama yang sabar membimbing umat agar tetap teguh di jalan kebenaran di tengah gelombang globalisasi nilai.

Sejarah mencatat bahwa dunia dayah dan pesantren merupakan benteng moral bangsa. Dari bumi Aceh, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman berjuang bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan seruan jihad yang berlandaskan ilmu dan iman. “Perang tanpa ilmu adalah buta,” ungkapnya dalam banyak pengajian. Sementara di Jawa, KH Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat jihad melalui fatwa dan pendidikan pesantren. Ia menegaskan, “Hubbul wathan minal iman” — cinta tanah air adalah bagian dari iman — sebagai pesan moral bahwa perjuangan membela bangsa adalah bagian dari ibadah.
Kini, bentuk perjuangan telah berubah.

Musuh bangsa tidak lagi datang dalam wujud penjajah berseragam, melainkan dalam bentuk kemalasan berpikir, degradasi moral, dan derasnya arus informasi yang sering menyesatkan. Di tengah kondisi inilah santri dan ulama kembali memegang peran strategis sebagai pahlawan moral dan intelektual. Mereka berjuang di medan digital — bukan dengan peluru, tetapi dengan pena, ilmu, dan teknologi yang menebar pencerahan.

Santri masa kini adalah pejuang dua dunia: dunia tradisi dan dunia digital. Mereka dituntut untuk menjadi pahlawan yang berilmu dan beradab, menguasai teknologi tanpa kehilangan nilai-nilai Islam. Saat santri membuat konten dakwah yang santun, mengajar melalui platform daring, atau menciptakan inovasi berbasis nilai keislaman, sejatinya mereka tengah meneruskan semangat kepahlawanan dengan cara yang sesuai zaman. Seperti pesan KH Ahmad Dahlan, “Jadilah pelita di tengah kegelapan.” Dalam konteks era 5.0, pelita itu adalah akal sehat, akhlak mulia, dan kemajuan berbasis iman. Ulama pun tetap menjadi kompas moral bagi bangsa.

Di tengah masyarakat yang haus keteladanan, para teungku di dayah menanamkan nilai-nilai akhlaqul karimah dan membangun karakter santri agar tidak kehilangan arah di tengah pusaran modernitas. Teungku Hasan Krueng Kale pernah berpesan, “Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.” Pesan itu kini terasa sangat relevan: teknologi tanpa nilai akan melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual namun kosong secara spiritual.

Menjadi pahlawan di era disrupsi 5.0 tidak harus mengangkat senjata. Cukup dengan menjaga kebenaran di ruang digital, menanamkan akhlak di tengah krisis moral, dan terus berinovasi dalam bingkai nilai-nilai Islam. Dari bilik-bilik dayah hingga ruang maya, semangat kepahlawanan itu terus menyala. Karena sejatinya, setiap santri yang ikhlas menebar ilmu dan setiap ulama yang menuntun umat adalah pahlawan bangsa di masa yang serba berubah ini.

Dr Tgk. Mahdir Muhammad, S.HI, MA.
Wakil Ketua II STIS UMMUL AYMAN, GURU DAYAH MAHASISWA UMMUL AYMAN III, DOSEN UNISAI SAMALANGA dan pemerhati pendidikan Islam dan Pendidikan Dayah Aceh