Luem Punyie, Warisan Pesisir dan Hukum Adat yang Tak Tertulis
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di pesisir Aceh, ketika malam mulai pekat dan angin laut membawa aroma asin yang khas, ada sebuah tradisi yang masih hidup di hati masyarakat nelayan: Luem Punyie. Istilah ini berarti menjaga penyu bertelur, sebuah kegiatan yang bukan sekadar menjaga satwa langka, tetapi juga merawat nilai-nilai kebersamaan yang telah diwariskan turun-temurun. Penyu, atau punyie dalam bahasa Aceh biasanya muncul pada malam hari menjelang subuh, mencari tempat yang tenang dan aman di bibir pantai untuk meletakkan puluhan hingga ratusan butir telurnya.
Proses penyu naik ke darat adalah momen yang sakral bagi masyarakat setempat. Warga yang berjaga akan mengamati dari kejauhan agar penyu tidak terganggu. Mereka tahu, sekali penyu merasa terancam, ia akan kembali ke laut tanpa sempat bertelur. Setelah selesai bertelur, penyu perlahan kembali ke ombak, meninggalkan jejak tubuhnya di pasir, jejak yang menjadi tanda bagi warga untuk mulai menggali dan mengambil telur yang terkubur.
Namun, yang membuat tradisi ini unik bukan hanya pada proses penjagaannya, melainkan aturan berbagi hasil yang sangat khas. Walau seseorang menemukan telur penyu sendirian, ia tidak berhak menyimpan semuanya untuk dirinya. Ada hukum adat tak tertulis, semua orang yang mengetahui peristiwa itu, meski tidak ikut menjaga atau membantu, tetap mendapat bagian. Prinsip ini mencerminkan semangat gotong-royong dan rasa kebersamaan yang kental di masyarakat pesisir.
Pembagian ini dilakukan secara adil namun berjenjang. Orang yang menemukan dan menjaga mendapatkan porsi terbesar, sementara mereka yang sekadar menyaksikan dari dekat akan mendapat bagian lebih sedikit. Meski begitu, pembagian ini tetap dilakukan dengan sukarela dan tanpa keluhan, karena diyakini sebagai bentuk rezeki yang harus dibagi. Jika seseorang berusaha membawa lari telur tanpa membagikan kepada yang melihat, ia akan dikejar dan diteriaki warga, sebuah sanksi sosial yang efektif menjaga aturan adat.
Menariknya, aturan berbagi ini berlaku mutlak hanya jika orang-orang yang mengetahuinya masih berada di kawasan bibir pantai. Jika mereka mengetahui keberadaan telur setelah telur itu dibawa melewati batas alam seperti sungai yang memisahkan pantai dan daratan, maka kewajiban membagi tidak berlaku lagi. Batas ini bukan sekadar garis geografis, melainkan juga garis adat yang dipegang teguh.
Tradisi Luem Punyie ini bukan hanya menjaga ekosistem penyu yang semakin langka, tapi juga menjadi ajang pembelajaran tentang etika sosial. Anak-anak pesisir tumbuh dengan pemahaman bahwa rezeki dari laut dan pantai adalah titipan bersama, dan keberkahan akan datang ketika rezeki dibagi. Nilai ini membentuk karakter masyarakat pesisir yang terbuka, saling menghargai, dan peka terhadap lingkungan.
Bagi masyarakat pesisir Aceh, punyie bukan sekadar hewan laut, tetapi bagian dari cerita hidup mereka. Setiap musim penyu bertelur, pantai menjadi panggung alami di mana manusia dan alam berinteraksi dengan harmoni. Suara ombak, cahaya bulan, dan langkah penyu di pasir menjadi bagian dari narasi budaya yang tidak pernah mereka tinggalkan.
Di tengah modernisasi dan tantangan ekosistem laut, Luem Punyie menjadi bukti bahwa tradisi dan konservasi bisa berjalan seiring. Di sini, menjaga penyu bertelur bukan sekadar tugas ekologi, tetapi juga ritual sosial yang mengikat warga dalam satu ikatan moral, rezeki dari alam adalah milik bersama, dan harus dibagi agar berkahnya tetap terjaga. (TS)