Kuta Pangwa, Mereka yang Tak Tergantikan Oleh Mesin di Tanah Berlumpur
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di tengah hamparan sawah yang baru saja dialiri air hujan, deretan petak berlumpur memantulkan langit kelabu yang menggantung di atas Kuta Pangwa, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, Minggu (27/7). Meski cuaca tampak muram, semangat para petani yang membungkuk menanam bibit padi tetap bersinar cerah. Dengan langkah pelan tapi pasti, mereka menapak lumpur yang lengket, mengatur barisan demi barisan kehidupan yang baru.
Suara gemericik air dari irigasi kecil berpadu dengan percikan langkah-langkah kaki di sawah menjadi musik alami yang menemani kerja keras mereka. Tak ada mesin modern, hanya tangan-tangan kasar yang terlatih menabur harapan di sela-sela lumpur. Di antara barisan hijau yang mulai tumbuh, terlihat beberapa ibu-ibu berjilbab memanggul bibit dengan tekun. Mereka bekerja tanpa banyak bicara, seolah telah memahami irama alam yang jadi bagian dari hidup mereka.
Kuta Pangwa bukan sekadar desa agraris. Ia adalah saksi dari keteguhan hati petani yang tak kenal menyerah, bahkan saat musim tak menentu dan harga gabah kian tak bersahabat. Sawah-sawah di desa ini bukan ladang biasa, ia adalah napas kehidupan, dapur keluarga, dan warisan turun-temurun yang dijaga dengan penuh cinta. Tak ada yang lebih membanggakan bagi para petani ini selain melihat tanaman mereka tumbuh subur, meski hasil panen kadang tak sepadan dengan jerih payah.
Asap dari kejauhan mengepul di antara deretan pohon kelapa, tanda pembakaran jerami yang menandai siklus pertanian telah dimulai kembali. Di sisi lain, rumah-rumah kayu sederhana berdiri di pinggiran sawah, seolah mengawasi kerja keras para petani dengan tenang. Anak-anak kecil berlarian di pematang, kadang membantu, kadang hanya menjadi penonton kecil dari perjuangan yang diam-diam sedang diwariskan.
Dalam sunyi, mereka menanam bukan hanya padi, tapi juga keyakinan bahwa besok akan tetap ada nasi di meja. Meski pupuk mahal, air kadang langka, dan hasil panen belum tentu memadai, tak pernah sekalipun mereka meninggalkan sawah. Karena bagi mereka, ladang adalah tempat berdoa, bekerja, dan berharap sekaligus. Di sinilah segala peluh tumpah untuk sebutir harapan bernama kehidupan.
Ironisnya, perjuangan mereka sering luput dari sorotan. Tak ada kamera berita, tak ada pejabat yang menyapa, bahkan tak banyak kebijakan yang berpihak. Namun mereka tak butuh panggung, cukup tanah yang bisa ditanami, air yang mengalir, dan langit yang tak terlalu pelit. Selebihnya, semangat dan kesabaran adalah pupuk terbaik yang mereka punya.
Kisah petani Kuta Pangwa adalah kisah tentang ketulusan yang diam. Di balik lumpur dan peluh, tersembunyi cinta pada tanah dan kehidupan yang mereka rawat sejak dahulu kala. Dan saat panen tiba, meski tak semua mimpi menjadi nyata, mereka tetap tersenyum, karena dalam setiap bulir padi yang dituai, terselip doa yang tulus dan perjuangan yang tak pernah pupus. (TS)