Ketika Pemerintah Salah Arah: Dari Peluang Emas Menjadi Ancaman Bangsa
Penulis: Sri Radjasa, MBA (Pemerhati Intelijen)
OPINI - Dalam dunia geopolitik modern, kekuatan ekonomi tak lagi ditentukan oleh senjata, melainkan oleh kemampuan sebuah negara memanfaatkan kerja sama global untuk memperkuat dirinya. Tiongkok, lewat kebijakan One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI), memberi contoh bagaimana sebuah visi besar dapat menjadi alat membangun pengaruh global. Ironisnya, Indonesia yang seharusnya mampu menjadikan OBOR sebagai peluang emas justru tergelincir ke dalam jebakan yang diciptakannya sendiri, yakni jebakan dari pejabat-pejabat yang korup, berpikiran pendek, dan lebih sibuk memperkaya diri ketimbang melindungi rakyat.
BRI sebenarnya bukan ancaman jika dikelola dengan cerdas. Ia bisa menjadi wadah untuk membangun konektivitas, menumbuhkan industri nasional, dan mempercepat alih teknologi.
Negara-negara seperti Malaysia dan Vietnam mampu menegosiasikan proyek-proyek BRI agar menguntungkan ekonomi domestik mereka dimana ada pembatasan tenaga kerja asing, ada transfer teknologi wajib, dan ada keterlibatan industri lokal. Tetapi di Indonesia, kebijakan yang semestinya menjadi alat pembangunan justru dipelintir menjadi ladang rente. Para pejabat membuka pintu selebar-lebarnya untuk modal asing tanpa perencanaan yang matang, bahkan tanpa kajian dampak sosial dan ekonomi yang jelas.
Pemerintah kerap membanggakan diri dengan menyebut bahwa kerja sama dengan Tiongkok mencerminkan “kemitraan setara dan saling menguntungkan.”
Namun data di lapangan menampik klaim itu. Investasi dari Tiongkok yang pada 2024 mencapai sekitar 8 miliar dolar AS tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia. Tenaga kerja asal Tiongkok yang mencapai lebih dari 100 ribu orang, sebagian besar bekerja di proyek-proyek infrastruktur menyingkirkan potensi pekerja lokal. Sementara itu, industri yang dibangun lebih banyak dikendalikan oleh perusahaan asing, dengan sedikit sekali manfaat langsung yang dirasakan masyarakat.
Padahal dalam skema ideal, BRI bisa menjadi sarana bagi Indonesia untuk belajar dan bertransformasi. Kita bisa menuntut kewajiban transfer teknologi, membangun pabrik dengan kepemilikan bersama, dan memastikan tenaga kerja lokal menjadi bagian dari proses produksi modern. Namun peluang itu hilang karena satu penyakit kronis yaitu korupsi dan kerakusan pejabat publik.
Setiap proyek strategis nasional yang melibatkan modal besar berubah menjadi ajang pembagian kue kekuasaan. Proyek smelter, pelabuhan, hingga kereta cepat, sebagian besar dipenuhi manipulasi dan penyimpangan. Pejabat yang semestinya menegosiasikan kepentingan rakyat malah menegosiasikan harga pengkhianatan. Dalam banyak kasus, pemerintah lebih sibuk menjaga hubungan baik dengan investor asing daripada memperjuangkan manfaat jangka panjang untuk masyarakat.
Hasilnya, rakyat hanya menjadi penonton, sementara elit politik dan pengusaha tertentu menikmati limpahan keuntungan.
Kita bisa belajar banyak dari Tiongkok, bukan untuk meniru hegemoninya, tapi untuk memahami bagaimana negara itu menempatkan rakyat sebagai poros kebijakannya. Dalam tiga dekade terakhir, Tiongkok berhasil mengubah diri dari negara miskin menjadi kekuatan ekonomi dunia. Rahasianya sederhana, yakni pemerintahan yang disiplin, strategi pembangunan jangka panjang, dan keberanian menolak ketergantungan pada modal asing yang merugikan. Semua keputusan besar diambil dengan prinsip: harus menguntungkan rakyat Tiongkok, bukan elite penguasa.
Sementara di Indonesia, keputusan besar sering diambil berdasarkan siapa yang memberi keuntungan lebih cepat bagi pejabat dan kroninya. Regulasi dibuat longgar, izin dipercepat, dan pengawasan diabaikan. Kita menyebutnya investasi, padahal yang terjadi adalah penyerahan kedaulatan ekonomi secara perlahan. Pemerintah gagal memahami bahwa kerja sama luar negeri harus berfungsi sebagai sarana memperkuat ekonomi rakyat, bukan memperlemah kemandirian nasional.
Proyek-proyek besar yang dibanggakan, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung adalah cermin dari kesalahan arah itu. Semula dijanjikan tanpa beban APBN, proyek ini akhirnya justru menguras keuangan negara. Biaya membengkak, jadwal molor, dan manfaat bagi rakyat nyaris tak terasa. Yang untung hanyalah segelintir kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan. Dalam politik pembangunan seperti ini, kata “kemitraan” kehilangan makna yang tersisa hanya ketergantungan.
Kegagalan terbesar pemerintah bukan karena bekerja sama dengan Tiongkok, melainkan karena tidak tahu bagaimana memanfaatkan kerja sama itu. Alih-alih membangun kapasitas nasional, pejabat kita justru memperlebar ruang intervensi asing dengan dalih percepatan pembangunan. Rakyat yang seharusnya belajar teknologi baru malah hanya melihat proyek-proyek raksasa berdiri tanpa akses. Anak-anak muda Indonesia yang berpendidikan tinggi tidak dipekerjakan, karena perusahaan lebih memilih tenaga asing dari negeri asal investor.
Kita sedang menghadapi bentuk baru penjajahan, bukan dengan senjata, melainkan dengan kontrak, perizinan, dan kelalaian moral pemerintah. Dan penjajahan jenis ini lebih berbahaya karena berjalan senyap, diselimuti retorika pertumbuhan ekonomi dan kerja sama strategis. Jika pemerintah terus menutup mata terhadap praktik ini, maka Indonesia akan menjadi pasar permanen, bukan mitra sejajar.
Tiongkok tidak sepenuhnya salah karena memperjuangkan kepentingannya, yang salah adalah pemerintah Indonesia yang gagal memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Di balik setiap utang luar negeri, setiap proyek raksasa, dan setiap investasi yang diagung-agungkan, ada pertanyaan sederhana yang harus dijawab, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Jika jawabannya bukan rakyat Indonesia, maka pemerintah telah gagal total dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.
Bangsa ini sebenarnya punya segala modal untuk maju. Kita punya sumber daya alam melimpah, tenaga kerja muda yang besar, dan posisi strategis di jalur perdagangan dunia. Tapi semua itu akan terus menjadi potensi yang tak pernah tumbuh jika dikelola oleh tangan yang kotor. Indonesia tidak kekurangan peluang, yang kurang hanyalah moral pemimpinnya.
Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan investasi asing sebagai kambing hitam sekaligus tameng politik. Tanggung jawab utama ada pada pengambil kebijakan di dalam negeri. Pemerintah harus memiliki visi ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat, seperti yang dilakukan Tiongkok ketika membangun dirinya dari negara agraris menjadi kekuatan industri global. Rakyat yang kuat hanya lahir dari kebijakan yang melindungi mereka secara ekonomi, bukan dari slogan dan seremoni penandatanganan investasi.
Jika pemerintah benar-benar belajar dari Tiongkok, maka pelajarannya jelas dimana kemandirian dibangun dari disiplin, integritas, dan perencanaan yang berpihak pada rakyat. Tetapi sejauh ini, yang kita tiru hanyalah kerakusan elite dan ketertutupan kekuasaan. Maka jangan salahkan Tiongkok jika akhirnya mereka diuntungkan, salahkan pemerintah Indonesia yang gagal menjaga rumahnya sendiri.
BRI bukan ancaman, pemerintah yang koruplah ancaman sebenarnya. Dan selama kepemimpinan kita masih menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa, Indonesia akan terus menjadi penonton di panggung yang dibangunnya sendiri.







