Gegara Lembu Tua, Persaudaraan Warga Peurade Sempat Retak, Akhirnya Rukun Kembali
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Minggu malam (21/9) di Gampong Peurade, Kecamatan Pante Raja itu sebenarnya berjalan tenang. Angin laut berembus pelan, anak-anak masih bercengkerama di halaman rumah. Namun suasana berubah ketika seekor lembu tua milik LM (20) tanpa sengaja masuk ke pekarangan IW (22) sebelum sempat digiring ke kandang. Sepele memang, hanya perkara ternak yang lepas kendali. Tetapi di balik perkara kecil itu, emosi manusia kadang lebih cepat bergejolak.
IW yang tersinggung, ditemani abangnya FR (28), melontarkan kata-kata kasar kepada LM. Cekcok pun tak terhindarkan, berujung perkelahian ringan yang menyedot perhatian warga. Orang tua IW, khawatir suasana meruncing, melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Malam yang mestinya damai, nyaris ternoda oleh bara konflik.
Keesokan harinya, Kanit Reskrim Polsek Pante Raja bersama perangkat gampong bergerak cepat. Mereka mengundang kedua belah pihak ke Polsek Panteraja. Di sana hadir Kapolsek, Keuchik, Tuha Peut, Bhabinkamtibmas, serta keluarga masing-masing. Forum adat itu terasa khidmat. Dalam budaya Aceh, penyelesaian masalah di tingkat gampong ibarat menyalakan pelita di tengah gelap: menjadi jalan terang sebelum persoalan membesar.
Di hadapan para tetua gampong, IW dan FR menundukkan kepala. Mereka mengakui kekhilafan karena terlebih dahulu mengeluarkan kata-kata kasar. IW dengan suara bergetar menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada LM. Momen itu seakan mengingatkan kembali pada nilai luhur Aceh yakni musyawarah sebagai jalan utama perdamaian. LM pun menerima dengan lapang dada. Tangan-tangan yang sempat mengepal, kini beralih menjadi genggaman hangat.
Tak berhenti pada maaf, prosesi perdamaian diperkuat dengan penandatanganan surat pernyataan damai. “Apabila salah satu pihak mengingkari kesepakatan, maka bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku,” tegas AKP Mahruzar Hariadi, Kasi Humas Polres Pidie Jaya. Ucapannya menjadi penanda bahwa adat dan hukum formal berjalan seiring, saling menguatkan.
Ketegangan pun mencair, tali persaudaraan terajut kembali dalam tradisi Aceh, peristiwa semacam ini kerap ditutup dengan peusijuek, tradisi tepung tawar sebagai simbol penyucian hati dan niat. Meski sederhana, tradisi itu melambangkan kesejukan, konflik boleh terjadi, tapi perdamaian harus selalu dipelihara.
Kini, suasana di Gampong Peurade kembali teduh. Perselisihan akibat seekor lembu tua justru menjadi pengingat bagi warga bahwa musyawarah adat adalah benteng utama dalam menjaga persaudaraan. Di bumi Serambi Mekkah, damai bukan sekadar kata, melainkan napas yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. (**)