Di Bawah Kolong Rumah Kayu, Pendamping PKH Dengarkan Suara Rakyat
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di sebuah rumah panggung sederhana di Kecamatan Trienggadeng, suasana siang itu terasa hangat. Anak-anak berlarian di halaman, sementara para ibu duduk menyimak dengan penuh perhatian. Di tengah kebersahajaan itu, Fakhrul Andika, Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), hadir untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) kepada keluarga penerima manfaat.
Pendampingan ini bukan sekadar mencatat angka dan data. Fakhrul Andika duduk bersama warga, mendengarkan cerita mereka tentang kehidupan sehari-hari, tantangan dalam mengurus anak, hingga harapan agar bantuan PKH terus memberi dampak nyata. “Yang paling penting, warga benar-benar merasakan manfaatnya,” ucap Andika dengan nada penuh kepedulian.
Program Keluarga Harapan sendiri menjadi salah satu tumpuan masyarakat kurang mampu di pedesaan. Bantuan yang diberikan bukan hanya membantu kebutuhan harian, tetapi juga mendorong agar anak-anak tetap sekolah, ibu hamil mendapat layanan kesehatan, dan keluarga mampu lebih mandiri ke depan.
Di Trienggadeng, banyak keluarga menggantungkan hidup dari sawah, kebun, nelayan dan pekerjaan serabutan. Kehadiran PKH membantu mereka bertahan, sekaligus menumbuhkan motivasi untuk melangkah lebih baik. Bagi sebagian warga, kunjungan pendamping seperti Fakhrul menjadi penguat semangat sekaligus jembatan antara suara rakyat kecil dengan pemerintah.
Namun di balik suasana akrab itu, tak semua cerita berakhir manis. Beberapa keluarga penerima manfaat mengaku bantuan yang diterima belum cukup untuk menutup kebutuhan dasar. “Bantuan memang meringankan, tapi belum bisa menutupi biaya sekolah anak-anak,” keluh seorang ibu disebuah desa yang lain . Cerita ini mencerminkan bahwa meski PKH membantu, kenyataan di lapangan masih penuh tantangan.
Isu lain yang sering muncul adalah soal pemerataan. Di sejumlah gampong, ada keluarga yang layak tetapi belum masuk daftar penerima, sementara ada pula penerima yang dinilai sudah cukup mampu namun masih tercatat dalam program. Ketimpangan ini kerap menjadi bahan obrolan di warung kopi hingga forum desa, bahkan menimbulkan rasa iri di kalangan warga.
Bagi pendamping seperti Fakhrul Andika, tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa program tidak berhenti pada formalitas laporan. Ia harus menyaring suara-suara warga yang sering tak tercatat di meja birokrasi. “Kami ingin PKH benar-benar hadir, bukan sekadar angka di atas kertas,” tegasnya. Pernyataan itu menegaskan bahwa pendampingan sejatinya bukan soal administrasi, melainkan keberpihakan pada masyarakat.
PKH memang telah memberi secercah harapan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang menanti. Monitoring di rumah-rumah warga seperti yang dilakukan Fakhrul Andika seharusnya menjadi pintu masuk bagi evaluasi yang lebih jujur. Karena bagi masyarakat Trienggadeng, bantuan sosial bukan sekadar data, melainkan penopang kehidupan nyata di tengah kerasnya realita. (**)