15 September 2025
Opini

Politik Balik Modal, Fee Proyek Menjelma Jadi Mesin Korupsi Berjamaah

OPINIFenomena fee proyek sudah lama jadi rahasia umum. Hampir tak ada kontraktor yang berani bicara terbuka, tapi semua tahu aturannya, siapa pun yang ingin menang proyek, harus setor dulu. Besarnya bervariasi, 15 sampai 20 persen dari nilai kontrak, tergantung siapa yang duduk di kursi empuk penguasa. Jika tak mampu setor, jangan harap bisa ikut tender. Dari sinilah, “ongkos politik mahal” menemukan muaranya.

Bagi kontraktor, fee proyek dianggap risiko bisnis. Bagi pejabat, fee adalah cara “balik modal.” Tapi bagi rakyat, fee proyek adalah bencana. Sebab setiap rupiah yang dipotong, akan berkurang pula kualitas bangunan. Jalan baru cepat rusak, sekolah retak sebelum dipakai, dan jembatan ambruk lebih cepat dari masa jabatan bupati. Infrastruktur dibangun bukan berdasarkan RAB yang sehat, melainkan berdasarkan persentase suap.

Yang paling mencolok terjadi saat tahun politik. Banyak calon kepala daerah rela menggelontorkan puluhan miliar demi kursi bupati atau walikota. Uang itu berasal dari kantong pribadi atau donatur besar. Setelah menang, pertanyaan klasik muncul,  bagaimana mengembalikan modal? Jawabannya sederhana, dengan memotong anggaran  proyek rakyat. Fee 15 hingga 20 persen jadi solusi instan, meski haram dan merusak.

Ironinya, ada kandidat yang mengaku modalnya bersih, hasil usaha halal. Namun begitu modal itu dikembalikan lewat fee proyek, statusnya berubah, yang semula halal, jadi haram. Penulis pernah mendengar sesepuh kita di Pidie Jaya, mengatakan, meunye nyan piasan saban sit “Lagei ta rhah ek ngon i’ek” artinya bagaikan bersuci dengan air seni, tampak suci padahal najis. Politik kita pun serupa, tampak gagah di panggung, tapi di balik layar penuh noda.

Dari sisi agama, tak ada ruang kompromi. Rasulullah SAW bersabda: “Pemberi suap dan penerima suap, keduanya di neraka.”  Fee proyek adalah risywah, dosa besar yang merusak tatanan masyarakat. Namun ironisnya, para pelaku tetap rajin beribadah, duduk di saf depan masjid, bahkan bersedekah dari uang haram. Seolah ibadah bisa jadi deterjen pencuci dosa. Padahal, sedekah dari harta kotor justru menambah hisab.

Hukum negara pun jelas. UU Tipikor Pasal 12 a & b melarang pejabat menerima hadiah atau janji terkait jabatannya. Ancaman pidananya mencapai 20 tahun penjara. Tapi di lapangan, hukum lebih sering jadi papan proyek pajangan, difoto ramai-ramai, lalu dibiarkan lapuk tanpa pengawasan. Jarang terdengar pejabat ditangkap karena fee proyek, padahal praktiknya berlangsung terang-terangan.

Kasus-kasus yang sempat terungkap hanya secuil dari gunung es. Di Aceh misalnya, publik masih ingat OTT Bupati Bener Meriah pada 2018 terkait fee proyek, Di tingkat nasional, hari ini Kejagung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka terkait dugaan kasus korupsi Chromeboox dan ada sejumlah nama besar lainnya setingkat menteri dan wamen yang di OTT KPK, ini jadi contoh bagaimana fee proyek dan suap merajalela bahkan sampai level menteri. Pertanyaannya, kalau di atas bisa tertangkap, apakah di bawah masih aman? Jawabannya, praktiknya tetap jalan, hanya beda cara menyembunyikan.

Fee proyek bukan hanya melanggar norma agama dan hukum negara, tapi juga merusak moral generasi. Anak muda kontraktor terbiasa dengan mental “asal setor dapat kerja,” bukan “asal kerja berkualitas.” Pejabat berubah jadi rentenir berseragam negara, yang melihat jabatan sebagai investasi, bukan amanah. Akibatnya, generasi berikutnya tumbuh dengan mindset yang sama, politik adalah ladang balik modal, bukan ruang pengabdian.

Efek domino pun muncul. Infrastruktur yang buruk membuat ekonomi rakyat macet. Jalan cepat rusak menghambat distribusi, sekolah retak merusak masa depan pendidikan, jembatan ambruk mengancam nyawa. Semua kerugian itu tak pernah ditanggung pejabat, melainkan rakyat kecil yang setiap hari melewati jalan berlubang, belajar di ruang kelas bocor, atau kehilangan akses saat jembatan putus.

Lebih parah lagi, fee proyek menumbuhkan budaya diam. Kontraktor diam karena takut blacklist, rakyat diam karena sudah terbiasa, oknum aparat hukum diam karena ikut kebagian kue anggaran. Diam massal ini menjelma jadi konspirasi sosial, di mana kejahatan dianggap kewajaran. Akhirnya, fee proyek tidak lagi dipandang sebagai suap, tapi sebagai “aturan main.”

Padahal, di balik semua itu ada luka kolektif. Rakyat kehilangan hak atas pelayanan publik yang layak, generasi kehilangan kesempatan hidup lebih baik, dan negeri ini kehilangan martabatnya. Ketika uang rakyat diperas demi kepentingan segelintir elite, maka yang terjadi bukan lagi pembangunan, tapi perampokan berjamaah.

Solusi tidak bisa setengah hati. Transparansi anggaran harus nyata, bukan hanya papan informasi yang penuh angka. Mekanisme tender harus diawasi publik, bukan hanya oleh panitia yang bisa diatur. Biaya politik harus ditekan lewat aturan pendanaan yang ketat, agar pejabat tak lagi menjadikan proyek sebagai mesin balik modal.

Selain itu, pengawasan publik harus diperkuat. Media, LSM, mahasiswa, bahkan masyarakat gampong perlu diberi akses untuk menelusuri proyek. Jika ada fee, laporkan. Jika ada pemotongan, suarakan. Jangan biarkan diam menjadi budaya, karena diam justru memberi ruang bagi kejahatan untuk terus hidup.

Yang terpenting, aparat penegak hukum (APH) harus  berhenti pura-pura buta. Selama APH masih bisa “main mata,” fee proyek tak akan pernah mati. Hanya dengan keberanian menegakkan hukum secara adil, praktik ini bisa diputus. Jika tidak, rakyat hanya akan jadi penonton yang terus membayar tiket mahal.

Fee proyek bukan budaya, bukan rezeki, bukan tradisi. Ia adalah penyakit yang menggerogoti tubuh bangsa. Selama praktik ini dianggap wajar, rakyatlah yang terus jadi korban. Maka, sudah saatnya kita bersuara, jabatan bukan investasi, fee proyek bukan jalan pintas, dan politik ongkos mahal bukan takdir. Kalau tidak, kita akan terus hidup “lagei ta rhah ek ngon i’ek” bersuci dengan air seni, bersih namun tidak suci. (TS)