27 Juni 2025
News

BRA Luncurkan Buku Dua Dekade Damai Aceh, Dorong Pendidikan Damai Masuk Kampus

Foto : Istimewa | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Dua puluh tahun setelah tercapainya kesepakatan damai di Tanah Rencong, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) meluncurkan buku reflektif berjudul “Dua Dekade Damai Aceh”.

Peluncuran disertai diskusi mendalam (Bedah Buku) digelar di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (26/6/2025).

Buku setebal 236 halaman karya jurnalis senior Iskandar Norman ini bukan sekadar catatan sejarah, tapi juga ajakan untuk terus merawat perdamaian yang telah dibangun dengan susah payah sejak 2005.

Kepala BRA, Jamaluddin, SH., M.Kn, menekankan pentingnya menjadikan perdamaian sebagai bagian dari kesadaran kolektif generasi muda, terutama mahasiswa. Menurutnya, kampus adalah ruang strategis untuk menanamkan nilai-nilai damai secara berkelanjutan.

“Perang telah menghancurkan pendidikan dan ekonomi kita. Perdamaian ini harus dijaga dengan martabat dalam bingkai NKRI. Saya harap mahasiswa menjadikan pendidikan sebagai jalan perjuangan demi Aceh yang lebih baik,” ujarnya.

Harapan serupa disampaikan oleh Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mursyid Djawas, M.H.I, yang mengajak mahasiswa untuk mengisi perdamaian dengan aksi nyata dan positif.

 “Perdamaian ini diperjuangkan dengan energi luar biasa. Sekarang saatnya kita rawat dan isi dengan pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.

Bedah buku yang dimoderatori Putri Wardaniah menghadirkan lima pembedah dari lintas disiplin. Guru besar antropologi agama Prof. Kamaruzzaman Bustaman – Ahmad membuka diskusi dengan menekankan pentingnya menjadikan Aceh sebagai laboratorium ilmu sosial.

“Konflik di Patani dan Mindanao belum selesai. Pengalaman Aceh bisa menjadi pelajaran bagi dunia. Sudah saatnya UIN membuka program doktoral peace education,” sarannya.

Pakar hukum adat Dr. M. Adli Abdullah menggarisbawahi bahwa buku ini penting sebagai dokumentasi sejarah, namun juga mengingatkan perlunya evaluasi atas capaian perdamaian selama dua dekade terakhir.

“Ini baru satu babak. Kita masih harus melanjutkan narasi damai ini dengan evaluasi dan tindakan nyata,” katanya.

Dr. Rasyidah menilai kekuatan buku ini ada pada narasi kronologisnya yang hidup dan sinematik, memudahkan pembaca mengikuti alur perdamaian Aceh dari masa ke masa.

Sementara itu, antropolog Dr. Reza Indria melihat buku ini sebagai pondasi awal yang penting untuk pengembangan karya sejarah damai berikutnya.

“Momentum dua dekade damai harus diabadikan dalam kurikulum pendidikan tinggi. Minimal sebagai mata kuliah wajib,” usulnya.

Namun, kritik datang dari Muazinah Yakob, Direktur Aceh Institute, yang menilai buku ini belum menyentuh aspek strategis dari proses damai secara utuh.

“Belum tergambarkan secara lengkap bagaimana damai itu dicapai dan bagaimana sistem pengelolaannya. Harus ada penulisan lanjutan yang lebih komprehensif,” tuturnya.

Acara ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh penting, seperti Inspektur Kodam Iskandar Muda Brigjen Yudi Yulistianto, Kepala Kesbangpol Aceh, serta sejumlah akademisi dan mahasiswa.

Semua pihak sepakat bahwa perdamaian bukan sekadar capaian masa lalu, tetapi agenda masa depan yang membutuhkan kesadaran kolektif dan aksi nyata, terutama dari generasi muda. (**)