Abu Nawas dan Keputusan Pergi Tanpa Menoleh
KISAH - Pada suatu hari, Abu Nawas terlihat duduk termenung di bawah pohon kurma di pelataran masjid. Sorban lusuhnya sedikit terangkat oleh angin sore. Wajahnya tidak seperti biasa tidak penuh canda, tidak pula menyimpan kelicikan seperti biasanya. Ia diam, tenang, dan seolah sedang menimbang sesuatu yang sangat berat.
Seorang sahabatnya, Hasan, menghampiri.
“Wahai Abu Nawas, engkau terlihat tidak seperti biasanya. Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Hasan penasaran.
Abu Nawas menoleh sebentar, tersenyum kecil, lalu kembali menatap langit.
“Aku sedang belajar pergi... tanpa menoleh,” jawabnya perlahan.
Hasan mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
Abu Nawas menghela napas. “Selama ini aku pandai bersilat kata, menundukkan raja dengan kecerdikanku, membuat tertawa para fakir dengan kelucuanku. Tapi hari ini, aku diuji bukan dengan teka-teki, melainkan dengan hati.”
Hasan makin bingung.
Abu Nawas pun mulai bercerita. “Ada seorang sahabat yang telah lama berjalan bersamaku. Dalam doa, dalam tawa, dalam luka. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa aku terus mengejar bayangan, sementara ia tidak lagi ada di tempat yang sama. Aku menoleh, berharap ada balasan. Tapi yang kudapat hanyalah sunyi.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Hasan, kini dengan nada hati-hati.
“Aku akan pergi,” kata Abu Nawas mantap. “Tanpa menoleh. Karena jika aku terus menoleh, aku akan terus ragu. Dan jika aku ragu, aku akan terluka lagi.”
Hasan terdiam. Lalu bertanya lirih, “Apakah itu bukan bentuk menyerah?”
Abu Nawas tersenyum. “Justru itu bentuk tertinggi dari keberanian. Sebab kadang, cinta bukan soal siapa yang paling lama tinggal. Tapi siapa yang paling tulus melepaskan, ketika semuanya sudah tak lagi bisa diperjuangkan.”
Hasan menunduk. Lalu berkata pelan, “Kau benar, Abu. Ada waktunya kita mempertahankan. Tapi ada waktunya pula kita menjaga kewarasan diri.”
Abu Nawas bangkit perlahan, mengambil tongkatnya, dan berseru pelan, “Sampaikan pada dunia, bahwa Abu Nawas pun bisa pergi. Bukan karena kalah. Tapi karena sadar, bahwa terkadang... diam dan pergi adalah satu-satunya cara untuk sembuh.”
Dan sore itu, Abu Nawas melangkah. Tanpa menoleh. Dengan hati yang telah pasrah, dan jiwa yang memilih damai.
Kang Mur I Kembalinya Anak Rantau